Jatinangor, Pusat Pendidikan yang Krisis Air Bersih

Hujan deras yang mengguyur Jatinangor pada Sabtu, 22 Desember 2012 membuat beberapa wilayah Jatinangor yang dipadati oleh pondokan mahasiswa Universitas padjadjaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung (ITB), Ikopin dan Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) tergenang air bercampur lumpur. Ciseke, daerah yang suka disebut para mahasiswa sebagai ibukota Jatinangor inipun juga tergenang air se-mata kaki orang dewasa. Selain itu, arus deras genangan air tersebut bisa membahayakan mahasiswa yang mencoba menerobosnya.

Selain banjir yang mulai rajin melanda daerah pendidikan di ujung Kabupaten Sumedang ini, krisis air bersih pun ikut melanda wilayah yang menghasilkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) terbesar untuk Sumedang. Beberapa wilayah di Jatinangor yang masih menggunakan sumur dangkal, bila hujan selesai mengguyur wilayahnya, maka air yang keluar ke bak mandi mereka bercampur lumpur.   
Jatinangor pada awalnya adalah daerah perkebunan teh, lalu sempat berganti fungsi menjadi perkebunan karet. Karena produksi karet kian menurun dan sudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke sejumlah buruh pabrik perkebunan karet. Akhirnya lahan tersebut berganti fungsi lagi menjadi kawasan pendidikan.

Sebelum menjadi kawasan pendidikan, menurut Oding, salah seorang warga Jatinangor, Desa Cikeruh mengatakan, dulu daerahnya tersebut banyak kebun, sawah dan balong (Kolam). Untuk air minum, warga sekitar bisa langsung mengambil dari mata air atau membuat sumur dangkal di dekat rumah. Mata air di daerahnya dulu berasal langsung dari mata air di Gunung Manglayang.

Mata air Gunung Manglayang tersebut tak hanya digunakan untuk air minum dan kebutuhan para warga sekitar untuk mandi dan sebagainya, Tapi juga pengairan sawah warga. Oding pun melanjutkan bahwa sawah di wilayahnya saat itu tidak mengenal musim. Musim kemarau pun, sawahnya tetap mendapat pasokan air dari Gunung Manglayang.

Namun, semenjak awal 1980-an, terutama semenjak pembangunan Universitas Padjadjaran, warga Jatinangor, terutama Desa Cikeruh mulai merasa pasokan air dari mata air Gunung Manglayang berkurang. Karena, Unpad yang dibangun di lahan bekas perkebunan karet tersebut menghalangi aliran air dari mata air Gunung Manglayang ke warga yang berada di Desa Cikeruh dan sekitarnya. Sehingga, sudah mulai terjadi perubahan dalam masalah air semenjak awal pembangunan perguruan tinggi tersebut.

“Sawah yang tadinya tak mengenal musim, setelah dibangun beberapa perguruan tinggi tersebut, di musim kemarau sudah mulai ada tanda-tanda kekeringan,” ujar Oding di depan warungnya.

Seiring perjalanan waktu, sawah-sawah yang ada di daerah Desa Cikeruh satu persatu dijual. Warga sekitar menjual sawahnya dengan harga murah dengan alasan sawah mereka sudah tidak produktif lagi. Karena pasokan air yang terus berkurang dari Gunung Manglayang membuat sawah mereka sering mengalami kekeringan. Belum lagi para investor yang melihat peluang bisnis di daerah yang ramai perguruan tinggi tersebut.

Ketika wilayah Jatinangor semakin ramai dengan pondokan mahasiswa, jelas membuat daerah tersebut mempunyai tingkat peluang bisnis cukup tinggi.  Investor pun mulai membangun pusat perbelanjaan dan yang terbaru sekarang apartemen. Pembangunan tersebut semakin menyulitkan warga dalam mendapatkan air bersih. Karena, pondokan mahasiswa yang berkapasitas besar banyak menggunakan jet pump dan apartemen serta pusat perbelanjaan menggunakan sumur artesis.

Hal tersebut membuat kondisi air tanah di Jatinangor menurun, belum lagi mata air yang hilang karena pembangunan. Pada awal 2012, warga mulai gencar menggali sumurnya lebih dalam lagi untuk mendapatkan air bersih. Karena, di sumur warga saat itu, air yang dihasilkan sudah bercampur lumpur, bahkan ada yang berbau bercampur limbah.

Namun, bagi warga yang tinggal di daerah sekitar apartemen dan pusat perbelanjaan mendapatkan jatah air bersih dari pihak apartemen dan pusat perbelanjaan. Karena, dalam aturan daerah Sumedang, bila membangun sumur artesis 10% bagiannya harus dibagikan ke warga sekitar.
Namun, pihak apartemen tidak membagi 10% air dari sumur artesisnya, tapi mereka buatkan tangki baru dan Jet pump untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga sekitar apartemen. Permasalahan pun tidak berakhir disitu, menurut penuturan beberapa warga, air Jet pump dari pihak apartemen tersebut mengeluarkan kerak berwarna putih bila dipanaskan. Warga sekitar pun menuturkan agak khawatir dengan peristiwa tersebut, tapi karena tidak ada pilihan lain mereka pun terpaksa meminum air dari Jet Pump tersebut.

Jet Pump pemberian dari pihak apartemen sebagai kompensasi pembangunan sumur artesis tersebut ternyata tidak gratis. Warga sekitar yang mendapatkan pasokan air tersebut harus membayar seharga Rp25.000,00 sampai Rp100.000,00 setiap bulannya sesuai jumlah pemakainnya untuk membayar listrik Jet Pump. Air tersebut pun tidak bisa setiap menit digunakan, setiap 20 rumah diberikan kesempatan mengisi air selama 2 jam per hari.

 Permasalahan kerak putih bila air dari jet pump pemberian apartemen, penulis kira pada awalnya adalah zat kapur. Namun, analisis penulis tersebut dibantah oleh ahli Hidrogeologi dari Unpad yaitu Bonbon. Menurutnya, tidak mungkin ada kandungan zat kapur dalam air tanah di wilayah Jatinangor. Karena Jatinangor sendiri bukan wilayah kapur.

Lalu, pihak apartemen pun juga mengelak kalau ada masalah dalam air Jet Pump yang mereka berikan. Karena, menurut pihak apartemen setiap tiga bulan sekali ada pengecekan dari dinas terkait untuk melihat kualitas air.

“Bila warga tidak mengeluhkan kepada dinas terkait saat pengecekan berarti tidak ada masalah,” ujar General Affair pihak apartemen.

Namun, masalahnya sekarang adalah, warga harus mengeluarkan biaya setiap bulannya untuk air dari tanah mereka sendiri. Berbeda dengan beberapa tahun silam ketika belum terjadinya pembangunan, warga bebas mengambil air secara cuma-Cuma. Seolah masa lalu mengikuti alur dalam salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa air, tanah, dan hasil bumi dikuasai Negara yang dipergunakan untuk bangsa. Tapi, kini semua itu dimilikki investor dan warga harus membayar bila ingin mendapatkan air ‘bersih’.***


Komentar