Nikotin Halal, Iklan Rokok Merajalela


31 Mei lalu, ramai membiacarakan dan memperingati hari tanpa tembakau dengan melihat fenomena kepopuleran tembakau di Indonesia. Berbagai pendapat di media sosial beragam, ada yang berpendapat, bila industri rokok di Indonesia dimatikan, maka akan membuat banyak petani tembakau dan pekerja industri yang jadi pengangguran. Kemudian, ada pula yang menganggap, hal tersebut tidak sebanding dengan efek buruk yang ditimbulkan dari isengan berisi nikotin tersebut.

Perdebatan di media sosial itu pun sama sekali tidak berguna apabila aturan di negeri ini memang masih pro dan membuat anggapan bahwa rokok itu sehat. Karena sampai detik ini secara kontroversial para mahluk di parlemen, aturan mengenai rokok masih tertulis dalam aturan bahwa nikotin bukanlah zat nikotin. Sehingga, penjualan masih bisa dilakukan sebebas-bebasnya kepada siapaun mau muda ataupun tua.

Merangkai dua karya yang terbit di waktu berbeda yaitu, sebuah film dokumenter berjudul Sex, Lies, & Ciggarates : Vanguard Sneak Peek yang di unggah ke youtube pada sekitar akhir 2011 dengan laporan utama Majalah TEMPO akhir Mei 2013 kemarin yang berjudul Agar Merokok Dianggap Sehat. Dua karya tersebut, memang berbeda pembahasan tapi satu objek yang dipermasalahkan utama yaitu seorang Philip Morris, pengusaha rokok dunia yang kini sudah menguasai Sampoerna, yang menjadi salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia.

Dalam film dokumenter Sex, Lies, & Ciggarates : Vanguard Sneak Peek tersebut dipermasalahkan adalah iklan-iklan rokok yang sangat ramai menyerbu setiap daerah terpencil maupun kota besar. Belum lagi, berbagai iklan rokok yang berafiliasi dengan iklan konser musik yang dominan khalayaknya ialah anak muda. Di sini pula fokus permasalahan adalah pada pecandu rokok usia muda. Saat itu 2010, sedang dihebohkan sebuah video yang di unggah ke dalam jaringan tentang seorang bayi berumur dua tahun merokok layaknya orang tua.

Pada awal film dokumenter tersebut pun diceritakan kondisi Amerika Serikat berpuluh-puluh tahun ketika mereka masih menghalalkan rokok muncul dengan harga murah dan untuk siapapun. Digambarkan pula, bagaimana iklan rokok menjamah seluruh pasar dan profesi, sampai dokter pun digambarkan untuk memperbolehkan merokok. Tokoh kartun Flinstone yang cukup populer saat itu juga menjadi salah satu jamahan produsen rokok di Amerika Serikat untuk mempromosikan produk mereka.

Setelah melewati beberapa puluh tahun, akhirnya seluruh insan di Amerika Serikat sadar bahwa rokok itu berbahaya untuk kesehatan perokok dan orang sekitarnya. Mulai saat itu, pemerintah negara adikuasa tersebut membuat harga rokok menjadi mahal dan larangan merokok di tempat umum. Karena hal tersebut, Philip Morris, si raja rokok dunia ini merasa negerinya dan beberapa negara maju di Eropa bukan lagi pasar yang bagus untuk bisnisnya tersebut. Akhirnya, Philip Morris mulai menyebarkan promosi produknya ke negera berkembang seperti Amerika Latin, Asia dan Afrika.

*
Berbeda dengan laporan utama Majalah TEMPO pada edisi akhir Mei 2013, majalah tersebut lebih fokus masalah kontoroversi aturan rokok yang ada di Indonesia. Serta menggambarkan bahwa sesungguhnya, pabrik rokok bukanlah sebuah wadah berputar uang yang adil untuk para petani tembakau. Karena, pada akhirnya yang diuntungkan dari keberadaan produsen rokok besar yang kini banyak didominasi oleh perusahaan asing hanyalah orang yang berada di jajaran atas. 

Bahkan, diceritakan pula dalam laporan utama tersebut bahwa petani tembakau di beberapa daerah di Jawa diminta untuk mengganti tanaman garapan menjadi bukan tembakau. Pemerintah Daerah yang meminta seperti bertujuan untuk menaikkan harga tembakau. Karena, bila hasil produksi sangat banyak membuat harga tembakau menjadi murah. 

Selain itu, tembakau untuk rokok putih yang beredar di Indonesia pun dominan bukan tembakau lokal. Namun, tembakau impor dari India dan China. Sementara pajak cukai rokok, sebuah pertanyaan dari penulis, Yakin cukai rokok seratus persen masuk ke kas negara? atau, yah, mungkin ini akan dianggap Suuzon (berprasangka buruk) tapi berbicara pajak di Indonesia, sepertinya pajak selalu akan dimainkan untuk membayar murah agar tetap mendapatkan untung yang besar. 

Melihat dua karya tersebut tentang rokok tampaknya jelas, pemerintah harus segera buat perubahan tanpa melihat mereka yang sudah mendapatkan oleh-oleh dari para produsen rokok. Awalnya melakukan pengawasan ketat dari penjualan rokok, rokok tidak boleh dijual di warung kelontong dan tidak boleh memberli satuan harus satu bungkus. Kedua, hapuskan iklan rokok, walaupun memang iklan rokok atau sponsor rokok memberikan uang yang cukup besar, mungkin bisa diawali dengan mengurangi aktifitas iklan tak hanya di media cetak, radio, televisi dan dalam jaringan. Tapi juga, Baligho besar di sepanjang jalan kota besar maupun kota terpencil. Hingga membuat produk rokok itu menjadi asing di masyarakat. Ketiga, membuat aturan yang boleh merokok hanya mereka yang sudah lewat masa produktifnya sekitar umur 50 tahunan. Terakhir, menaikkan pajak cukai rokok menjadi lima kali lipat, sehingga harga rokok akan menjadi tinggi dan tidak bisa di jangkau oleh remaja.

Namun, jelaslah, semua hal yang dituliskan di atas akan sangat mustahil dilakukan di negeri ini. Pengawasan saja sudah cukup sulit dilakukan, karena distribusi rokok sudah menjalar hingga ke warung kelontong yang jumlahnya jutaan. Apalagi, pemerintah Indonesia masih menganggap nikotin yang terkandung dalam rokok itu bukan zat adiktif. 

Walaupun begitu, banyak warga Indonesia yang menjadi pecandu rokok sudah sadar bahwa sebenarnya rokok itu tidak baik. Di antara mereka yang sudah merokok sejak kecil, banyak yang baru bisa berhenti ketika umur 40 - 50 tahunan. Walupun diantaranya juga bisa berhenti di umur 20-30 tahunan. Namun, beberapa diantaranya yang ingin mencoba berhenti pun mengaku cukup sulit, karena merasa sudah ketergantungan dengan rokok tersebut. Namun, melihat yang menyadari bahaya merokok itu ialah orang yang tua-tua membuat produsen rokok mengakui bahwa target penjualan mereka adalah remaja yang penuh dengan penasaran.

Menyadari hal tersebut, seharusnya para perokok pun sadar untuk tidak merokok di sembarang tempat apalagi tempat umum, atau angkutan umum yang kadang ada ibu yang membawa bayinya. Selain itu, bila perokok yang sudah sadar bahaya rokok tidak merokok di tempat umum, akan membuat benda rokok akan semakin asing walaupun iklan rokok bertebaran di mana-mana. Tapi bila jumlah orang yang merokok terlihat sedikit bisa mengurangi sedikit dampak iklan rokok tersebut. 

Komentar