TOPI KENANGAN






Sekarang sudah tahun 2010, aku melangkah sedikit demi sedikit di sisi jalan yang kosong. Sambil teringat dan tersadar kini aku sudah mulai dewasa. Rambutku pun sudah panjang tak seperti sesaat setelah lahir, masih belum berambut. Mataku kini penuh pikiran di segala bidang terutama dalam hal pekerjaan kini.
Mungkin untuk masalah masa depan tak begitu terlalu tanda tanya bagiku, namun yang menjadi catatan tanda tanya adalah masa laluku. Entah aku yang sengaja melupakannya atau apa benar-benar terlupakan tapi tanda tanya dalam masa laluku tak begitu menarik perhatian pikiranku untuk kupikirkan. Padahal jujur saja aku orang yang sangat menyukai misteri, masa laluku adalah satu-satunya misteri yang tak ingin ku ketahui dengan berbagai alasan.
Langkahku terus melewati aspal yang dipunuhi tanah dan becekan air karena sesaat yang lalu hujan turun mengguyur daerah ini. Napasku bernapas seperti biasa namun detak jantungku sepertinya berdetak aneh. Sepertinya jantungku merasakan hal yang familiar di daerah ini.
Daerah ini adalah tempat dimana aku menempuh hidup dari kecil hingga sekarang aku sudah dewasa. Itu adalah kediaman ketika aku kecil, banyak sekali kenangan di dalamnya sehingga aku ingin bernostalgia dengan sedikit melirik ke arah tempat itu. Kupejamkan mataku sejenak dan aku kembali terbangun dari nostalgia karena ogah mengingat masa-masa itu. Ada masa lalu yang seperti kukatakan tadi mungkin sengaja dilupakan atau benar-benar terlupakan yang bila ditanya ke dalam diriku yang tidak nyata satunya lagi dia pasti langsung dengan tegas menolak untuk mengingat hal tersebut dan orang tersebut.
Mataku yang melirik ke arah tempat tersebut kembali menatap ke depan, namun rasanya tubuh ini tak bergerak sejenak, tubuhku ini tak bisa kugerakkan sesuai kemauanku. Dia, kakak kandungku itu terbayang dibenakku secara tiba-tiba. Apakah karena aku habis melirik rumah tua itu hingga dia datang kedalam benakku secara tiba-tiba. Aku memejamkan mata sekali lagi walau dalam hati bingung harus apakan nostalgia yang sangat tidak aku inginkan ini.
Tanganku mendekat ke jantungku, walau memang tidak sesunggunya mendekat kejantungku karena masih ada dadaku tapi aku terus memegangnya. Sepertinya rasa sakit hati masih tersimpan disini, dendam atau hanya sakit hati, dahulu sempat ada pertanyaan tersebut dalam diriku namun kini aku menganggap mungkin itu hanya sakit hati karena bila dendam aku sendiri berpikir tak mungkin dendam kepadanya. Memang aku kesal dan sempat benci tapi aku tahu dia masihlah seorang kakak yang seharusnya menjadi contoh buatku.
Aku terbangun dari lamunan nostalgiaku, secara otomastis langkahku mengarah ke pagar yang sudah usang ke arah rumah tua itu. Detak jantungku cukup kuat berdetaknya lalu aku masih memegang dadaku yang di dalam berdetaklah jantungku. Keringatku sedikit demi sedikit keluar, padahal udara disini terbilang sejuk karena ada pohon beringin yang menaungi jalan aspal yang bercampur tanah ini.
Pagar itu aku panjat, sudah berdebu memang hingga membuat tanganku ternodai oleh noda debu tersebut. Sempurna aku melewati pagar walau tak seindah atlit yang suka memajat tapi aku rasa telah melakukannya dengan cukup baik. Kini aku melangkah perlahan-lahan di dalam rumah pada masa kecilku yang sangat usang ini, tampak banyak daun basah berjatuhan sudah bersatu dengan tanah lalu kaca-kaca yang dahulu saat aku masih kecil sangatlah indah kini sudah terpecah-pecah menjadi beberapa bagian. Langkahku menuju ke satu sisi bagian rumah, tempat itu adaah tempat dimana aku biasa bermain bersama teman-teman dan sendiri juga.
Tampak sebuah topi yang sangat kotor, topi itu penuh dengan debu dan kotoran tanah yang melekat. Aku sangat mengenali topi itu, topi berwarna merah dan putih melambangkan bendera negaraku dan bila aku memakainya entah mengapa seperti ada rasa semangat di hati ini. Namun dalam topi tersebut ada sejarah yang mengawali aku untuk meupakan masa laluku.
Aku mendekat kepada topi tersebut, melangkah dengan pelan namun bersuara karena menapak di dedaunan yang telah berjatuhan tersebut. Sejenak aku menghentikan langkah karena merasa ada yang mengikuti dari belakang. Sedikit kulihat sekitar ternyata tak ada siapa-siapa dan kuanggap yang tadi itu adalah binatang yang melangkah.
Tanganku meraih topi tersebut, topi yang membuat semangat di masa kecilku bangkit dari kubur, tapi kini ketika aku memegangnya entah kenapa emosi jiwa yang hadir tapi sedikit kuberi catatan ini bukan dendam akan tetapi hanya emosi yang terpendam. Terbayang rasanya segala yang terjadi saat itu.
Ingat sekali aku waktu itu, ini diluar dugaan. Aku kembali mengingatnya ketika itu pertandingan bulutangkis dimana negaraku di suatu final menjadi pemenangnya. Aku memang senang negaraku meraih juara akan tetapi topi itu, topi sang merah putih itu tak ada bersamaku saat negaraku menang. Padahal topi itu khusus aku beli untuk euforia bila negaraku berprestasi. Tapi dia tak ada bersamaku karena topi itu dipakai pula oleh kakakku yang duduk tepat disebelahku kini. Dia tertawa senang kejadian itu terjadi di pagi hari sebelum pertandingan di mulai kakakku dengan sengaja mengambil topi merah putih itu secara paksa padahal aku sudah mengeluarkan air mata tapi tetap dia tak mengalah kepadaku.
Dia bangga memakai topi itu untuk meihat negaraku menjadi juara di kejuaraan tersebut , sangat sekali aku ingat itu. Setelah itu negaraku tidak pernah lagi menjadi juara padahal aku sudah memakai topi itu. Kakakku pun menghampiriku dan mengatakan , “bila topi itu kau yang pakai, negara kita pecundang.”
Kata-kata yang tak pernah akan kulupakan sepanjang hidupku, dia kakakku yang menghinaku dan aku marah merasakan sakit hati yang dalam dan kulempar topi merah putih itu ke tanah hingga sampai sekarang tergeletak begitu saja di tanah yang kupijak saat ini.
“maafkan aku bila kamu sakit hati denganku,” aku terkejut, ia hadir, ia yang sedang kupikirkan kakak kandungku. Kini ia kembali dihadapanku setelah ia melarikan diri dari rumah karena ada masalah dengan orang tua kami.  Aku pun mengangguk dan memeluknya, waktu ini penuh maaf dan dimaafkan. Dia adalah kakak kandungku dan topi merah putih itu tetap menjadi sebuah kenangan pahit yang harus kuhapuskan dari benakku.

Komentar