Aroma Percintaan Sang Permaisuri



“Ingat-ingatlah! Kau telah membunuh Bapa dengan keris buatanku ini! Kelak, kau pun akan merasakan bagaimana tertusuk keris buatanku yang kau pegang itu!” Ujar Empu Gandring kepada Ken Arok yang telah menusuknya dengan keris buatannya sendiri.

 Itu sekilas kisah dalam novel “Ken Dedes : Sang Penggoda” karya Wawan Susetya, cerita yang intinya adalah tentang berdirinya kerajaan Singhasari. Pada awal cerita, kisah Ken Arok yang nantinya menjadi pemimpin Singhasari ini berawal dari penjelasan tentang latar belakang kehidupan seorang Ken Dedes yang merupakan anak dari Brahmana terkemuka di daerahnya. Sampai akhirnya terjadi pertemuan yang dipaksa oleh Tunggul Ametung yang menguasai Tumapel yang merupakan bagian dari kerajaan Kediri.

Selain menceritakan kisah kesengsaraan Ken Dedes bersama Ametung, ada pula sisi lain kehidupan awal seorang Ken Arok dari masih bayi sampai ia menjadi perampok bersama rekan-rekannya.  Kepemimpinan menjadi tema utama dalam cerita novel karya Wawan ini. Kepemimpinan yang mengandung berbagai unsur dari kesetiaan, pengkhianatan sampai dengan cinta.

 Budaya Jawa pada masa kerajaan pun begitu terasa, ketika berbagai percakapan yang menggunakan bahasa jawa. Atmosfer agama Hindu juga dihadirkan untuk pembaca, semua itu terlihat dari kasta-kasta dalam Hindu yang jelas dan menyatu dalam karakter tiap tokohnya. Kasta-kasta yang ada tidak hanya disebutkan dalam cerita, tapi dibuat bagaimana atmosfer tokoh dengan kasta seperti menyatu membuat Theatre of Mind bagi pembacanya.

Kisah pun memasuki klimaksnya ketika Ken Arok mulai berguru kepada Hyang Loh Gawe seorang Brahmana dari India yang dalam ramalan memang akan menjadi gurunya Arok. Dari sinilah perubahan hidup seorang Ken Arok yang merupakan anak pungut ditemukan oleh Lembong di tempat pemakaman umum yang dalam cerita ini disebut perkuburan umum menjadi Ksaktria dengan mengkudeta Ametung di Tumapel.

Dalam proses mengkudeta Ametung, Arok mempunyai saingan yaitu Kebo Ijo yang mendapat dukungan dari Hyang Suci Belangkaka. Namun, seperti dalam kisah sejarah yang tertulis secara umum, bahwa akhirnya Arok dapat kekuasaan karena keris sakti yang dibuat Empu Gandring.

Sang Penggoda
Novel yang membahas sejarah ini sangat kental unsur cerita cinta dari seorang Arok yang menikahi adik tirinya yaitu Ken Umang sampai akhirnya menjadikan Ken Dedes permaisurinya. Belum lagi, kisah cinta Ametung terhadap Ken Dedes serta Kebo Ijo yang berusaha menarik hati perempuan yang konon dalam ceritanya amat cantik dan anak yang lahir dari rahimnya tersebut merupakan keturunan raja atau pemimpin tersebut untuk statusnya sebagai pemimpin Tumapel. 

Pertama, ada rasa kebingungan ketika judul novel ini, “Ken Dedes : Sang Penggoda” dihubungkan isinya kisah sejarah berdirinya kerajaan Singhasari. Namun, bila dihubungkan cerita cinta seorang Ken Dedes yang menarik hati empat pria (Ken Arok, Tunggul Ametung, Raja Kediri dan Kebo Ijo) dalam cerita tersebut tampaknya judulnya sudah cocok dengan isi. Lagipula, judul tersebut cukup menarik dengan kalimat “Sang Penggoda” akan ada imajinasi tersendiri tentang Ken Dedes.

Untuk menghubungkan antara judul dengan covernya, ditampilkan sosok muka seorang perempuan yang ayu jawa dari sisi samping dengan latar belakang candi hindu. Lalu, pewarnaan cahaya kuning keemas-emasan membuat covernya dan judul selaras.

Namun, ada hal yang mungkin menjadi pertanyaan besar ketika membaca buku ini, yaitu banyaknya tanda seru di beberapa kalimat. Entah fungsinya apa, tanda seru tersebut hadir tidak hanya pada kalimat percakapan untuk menunjukkan ekspresi, namun juga kalimat pada paragraf biasa.

“Wajah Ken Dedes tiba-tiba memerah, barangkali merasa malu atau justru karena senang, Menjadi permaisuri raja adalah keinginan semua perempuan di mana pun!” dalam kalimat paragraf biasa tersebut, diakhir kalimat ada tanda seru, tidak hanya di kalimat tersebut, tapi juga banyak kalimat lainnya yang tidak dimengerti apa maksud penggunaannya. Pembaca mungkin akan cukup terganggu karena bingung apa maksud hadirnya tanda baca tersebut.

Wawan Susetya, penulis buku ini merampungkan pendidikannya di studi bahasa inggris di Malang yang lulus pada 1994 ini lebih banyak berkiprah di dunia jurnalistik bersama Jawa Pos Grup. Dalam merampungkan novel ini, Wawan menggunakan enam puluh empat buku rujukan agar cerita novelnya tidak melenceng dari sejarah yang sebenarnya.

Data Buku :
Penerbit          : Imania
Penulis             : Wawan Susetya
Cetakan           : Pertama, Februari 2012
Halaman         : IV + 447 halaman
ISBN                 : 978-602-99756-3-5

Komentar