>>Seri Tunggu Aku Busway!!
Aku Richie, sebelum ini aku adalah seorang pengangguran selama tiga tahun. Padahal di namaku terpampang gelar S.sos. Namun entah salah siapa aku bisa menjadi pengangguran selama itu. Bila aku menyalahkan pemerintah yang tidak becus mengelola masyarakatnya dalam hal ketenagakerjaan juga salah karena aku juga kurang berusaha mencari pekerjaan.
Sekarang aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta dan hanya menjadi pegawai biasa yang gajinya hanya bisa memenuhi kebutuhan primer. Apalagi di Jakarta ini, aku adalah manusia rantau dari daerah sunda. Memang tidak jauh tapi iklim kehidupan di sini sangat berbeda dengan tanah kelahiranku.
Aku mengkontrak sebuah kamar di pinggiran kota ini, kamar yang tidak terlalu besar dan memang sesuai dengan perantau pas-pasan seperti aku ini. kumis dan jenggot aku cukur pagi ini, karena hari ini adalah hari pertama bekerja di daerah Sudirman Jakarta.
Kerapian kalau dihitung dengan nilaiku sudah mencapai nilai 10 alias sempurna karena jarang sekali aku bisa serapi ini. saat ingin berangkat aku melihat sebuah iklan di TV 14 inch yang sebenarnya punya anak dari yang punya kontrakan ini tapi ia merelakkannya untuk meminjamkannya kepadaku.
“dengan BBG(Bahan Bakar Gas), Baju jadi tidak kotor loh!” wah, memang kalau pakai yang biasa kotor ya, baru tahu aku hal tersebut. Pengetahuan umumku memang cukup minim, beruntung sekali aku masih bisa diterima bekerja. Melihat jam yang ada di tangan kiriku ternyata baru menunjukkan jam setengah tujuh dan aku pikir perjalanan hanya setengah jam jadi aku sarapan terlebih dahulu di warung nasi Ibu Yeyen. Ini adalah langgannanku, banyak hutangku disini jadi merasa lebih nyaman karena cukup mengenal Ibu Yeyen secara personal lebih dekat. Setelah selesai makan aku pun berangkat dan melihat Jam yang menunjukan pukul tujuh kurang sepuluh.
“mau berangkat kerja nak? Cepat kamu kerja Busway, rame ntar loh,” Ibu Yeyen menasihati dan aku membalasnya dengan senyuman dan segera berlari kecil untuk memanaskan tubuh yang terasa masih kaku ini.
Mulut menganga, tubuh sekaan tidak bisa bergerak melihat sebuah fenomena yang ada di depanku sekarang. Antrian loket Busway begitu panjang hingga tiang lampu merah. Melirik jam di tangan ternyata sudah pukul tujuh kurang tiga menit. Sepertinya sekarang aku panik.
Sebenarnya ada dua pilihan, aku naik bus umum biasa atau naik busway. Mengingat ini hari senin sepertinya lebih baik naik busway. Tapi keadaan di busway juga tidak memungkinkan. Pikiran ini pun sudah sangat resah sekali dan yang pasti adalah aku akan telat ke kantor padahari pertama ini.
*
Sekarang sudah menunjukkan pukul setengah Sembilan lewat sepuluh menit dan aku baru turun dari busway. Bila tadi aku berlari kecil untuk memanaskan tubuh sekarang sepertinya harus berlari cepat karena si bos sudah panas. Mukaku sangat panik dan tampak ada yang menertawaiku di pojok sana. Tapi sudahlah tak kupikirkan karena sekarang yang penting adalah sampai kamtor dengan selamat tanpa omelan dari si bos walau nampaknya itu tidak mungkin.
“maaf pak, saya baru tahu kalau Jakarta seperti ini ternyata,” sedikit ada tawa-tawa kecil dibelakangku. Sepertinya karyawan lain yang menertawaiku.
“mmm… kamu ini ya, ini hari pertama kamu bekerja loh, bagaimana nanti?” aku pun memberikan mimik wajah ketakutan agar terlihat merasa bersalah walaupun dalam hati merasa ingin sedikit meninju muka si bos ini.
“besok saya tidak akan telat, saya janji pak,” si bos pun meninggalkan ruangan karyawan dengan segera dan aku telah duduk di kursi kantor untuk pertama kalinya. Bila ibuku di Bandung melihat aku duduk di bangku kantoran seperti ini pasti banggalah dia. sekarang aku menatap monitor yang masih mati. Ternyata aku tidak tahu apa yang harus aku kerjakan, sekarang sepertinya berkeringat dan bingung untuk bertanya kepada siapa setelah kesan pertama aku disini sudah di pandang aneh.
Aku masih terduduk diam, dihadapan monitor yang mati. Tanganku meraih CPU dan menghidupkan monitor.
“kamu mau mengerjakan apa memangnya?” tiba-tiba bosku muncul di hadapanku dengan wajah mukaku yang kebingungan. Aku pun menggeleng-gelengkan kepala menandakan ketidaktahuan.
“nih tugas kamu mencatat laporan keuangan, nanti kalau ada yang mau membuat surat-surat juga ke kamu ya,” aku berpikir sejenak dan mengajukan interupsi kepada si bos.
“bukannya yang membuat surat-surat itu tugas sekretaris ya bos?” tiba-tiba pandangan si bos menjadi garang kepadaku. Hingga si bos pergi dari daerah sekitarku.
Pekerjaan ini tampaknya membosankan sekali, itulah yang aku rasakan sekarang. Aku ini seorang sarjana Sosial yang mengurusi keuangan. Bila dilihat cocok memang tapi sebenarnya hatiku merasakan ini semua bukan tujuanku.
*
Waktu pulang pun tiba, sekarang menunjukan pukul lima sore. Akan tetapi, tiba-tiba seorang perempuan cantik mengenakan rok yang sangat pendek dan baju sangat ketat dengan dua kancing terbuka pada kemejanya menghampiriku.
“mas Richie ya? Nih ada tugas dari bos, katanya malam ini mas harus lembur untuk menyelesaikan laporan tersebut,” aku terdiam, ketika kaki sudah siap meluncur untuk pulang harus tertahan. Tapi siapa perempuan yang cantik itu, tapi aku lebih memikirkan bagaimana mengerjakan tugas ini sekarang.
Ternyata membuat laporan itu adalah kegiatan yang menjenuhkan sekali. Entah kenapa kepala ini seperti mau pecah, bisa dibilang mirip-miriplah seperti pada saat mengerjakan soal aljabar sewaktu masih putih abu-abu yang sulitnya bukan kepalang. Perbedaannya kalau aljabar itu sulit kalau yang ini sangat membuat jenuh.
Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh lewat limabelas menit. Aku pun bergegas dengan cepatnya lalu berlari keluar untuk segera menuju halte busway yang tidak begitu jauh dari kantorku. Tangga menuju halte busway membuatku sedikit kelelahan juga, dari kejauhan tampak haltenya sudah mau tutup. Lariku semakin cepat karena sepertinya akan di tutup dan memang sudah di tutup karena sudah pukul sepukuh malam. Itulah alasan mba-mba yang menjadi penjaga loketnya.
“mba mohon bukalah sekali lagi, saya mau pulang dan tidak tahu arah pulang kalau nggak naik busway,” sepertinya mba-mbanya mengacuhkanku. Kuputuskan kembali ke kantor dan mungkin aku akan bermalam disana.
“eh, kamu belum pulang? Bareng aku aja yuk naik taksi biar patungan kita,” aku langsung mengiyakan dan pulang bersama perempuan yang tadi memberikanku tugas lemburnya.
“mba lembur juga?” tanyaku untuk membuang suasana garing diantara kami berdua.
“iya nih, capek juga kalau kayak begini tiap hari, oh iya kenalin aku Riska sekretarisnya si bos,” aku langsung ingat kata-kataku yang membuat bos marah adalah ketika mengatakan tugas sekretaris.
“lagi sibuk banget ya mbak?” iya nih, si bos tugasnya banyak sekali jadi saya bantuin sedikit-sedikit, jadi lumayanlah ada tambahan penghasilan juga dari si bos,” aku pun mengangguk dan menikmati perjalanan.
Malam di Jakarta memang berbeda dengan malamku di daerah kampung halamanku di Bandung, disini seperti tidak pernah ada kata istirahat ketika malam. Selalu terang benderang, aku sampai terhanyut karena suasana ini.
“ups, kita sudah sampai nih di depan rumahku, kamu mau masuk dulu nggak?” aku kaget karena tertidur di taksi.
“sekarang kita di daerah mana?” tanyaku yang memang belum hapal tentang Jakarta hingga detik ini.
“ini daerah Bintaro, kamu mau langsung pulang atau masuk dulu, memangnya rumah kamu dimana?” aku terkejut mendengar kata daerah tersebut yang sangat asing ditelingaku dan juga dipikiranku. Tidak pernah ada bayangan daerah macam apa itu.
“rumahku di bagian barat, dekat nggak dari sini?” si sekretaris pun terkejut …. Bersambung
Komentar
Posting Komentar