Awal Dari Tradisi Membungkam

Halaman muka surat kabar Java Bode yang merupakan salah satu media di Indonesia pada masa kolonial Belanda

Kebebasan pers di Indonesia mempunyai kisah yang berliki-liku. Bahkan, kebebasan (termasuk kebebasan pers) muncul ketika pergantian kepemimpinan. Namun, lambat laun kebebasan itu pun terkikis oleh pemerintahan yang sedang memimpin. Lihat saja, pada pasca kemerdekaan (1945-1949), kebebasan yang diberikan kepada pers cukup besar. Namun, setelahnya, kebebasan itu seperti kembali terbelenggu oleh sang pemimpin.

Setelah itu, pasca tumbangnya Soekarno sebagai presiden Indonesia (1966-1972), saat itu Soeharto sebagai pemimpin yang menggantikan sang plokamator janji memberikan kebebasan kepada pers yang cukup besar. Tapi, beberapa tahun kemudian, janji kebebasan itu berubah menjadi masa-masa kelam pers Indonesia.
Beberapa sumber mengatakan bahwa awal sejarah pers Indonesia adalah pada tahun 1852, ketika berdirinya surat kabar Java Bode. Namun, jauh sebelum itu sudah ada surat kabar yang terbit di Indonesia pada tahun 1712.

Pada tahun 1712 sampai awal 1800-an surat kabar yang hadir di Indonesia berisi tentang berita lelang dan publikasi dagangan dar VOC. Walaupun kontennya berita lelang dan publikasi, tapi pemerintah Belanda amat hati-hati dengan menerapkan sistem sensor yang amat ketat.  

Setelah, surat kabar hanya menjadi alat publikasi dagang dan berita lelang. Pada masa Jendral Daendels 1809, surat kabar berubah menjadi catatan kegiatan pemerintah. Walaupun catatan kegiatan pemerintah, penyensoran pun tetap ada dengan cara sehari sebelumnya dikirimkan ke pemerintah untuk disensor bagian yang tidak sesuai dengan pemerintahan.

Namun, aksi penyensoran pemerintah Hindia-Belanda ini menimbulkan perdebatan di parlemen negeri belanda. Kaum liberalis yang menentang penyensoran terhadap pers menganggap pers adalah alat pengawasan pemerintah yang baik. Namun, kaum  konservatif mempertahankan pembatasan kebebasan pers. Hasil akhir dari perdebatan tersebut adalah pasal tentang pers dalam Regerings Reglement 1854 yang kurang lebih isinya pemerintah Hindia-Belanda mempunyai hak untuk mengawasi pers. Lalu, dua tahun kemudian, undang-undang pers tersebut diperkuat dengan Reglement Op De Drukwerken in Nederlandsch-Indie (Drukperseglement) 1856 yang mewajibkan para pencetak dan penerbit menyerahkan kepada pejabat hukum satu salinan karangan sebelum semua diterbitkan.

Ditengah perdebatan parlemen negeri Belanda tentang penyensoran pers, pada 11 Agustus 1852, H.M Van Drop dan W.J Van Haren Noman, mendirikan sebuah surat kabar di Batavia.  Surat kabar tersebut bernama Java Bode merupakan penerus mingguan Bataviasch Advertentie-Blad yang muncul sejak 1 November 1951.

Java Bode menjadi media di Hindia Belanda yang berani mengkritik kebijaksanaan pemerintah yang penting serta memberikan perhatian khusus terhadap undang-undang pengendalian pers. Berbeda dengan   Bataviasch Advertentie-Blad yang isinya kurang lebih iklan-iklan dagang dan berita lelang. Menariknya, walaupun isinya tentang kritik terhadapa pemerintah kolonial, Java Bode mampu lolos dari jeratan pasal tentang pers dalam Regerings Reglement 1854 dan Drukperseglement 1856. Walaupun Meskipun begitu, Java Bode mengalami pasang surut yang cukup signifikan akibat dari dalam Regerings Reglement 1854 dan Drukperseglement 1856. Walaupun dapat lolos dan tidak dibredel oleh pemerintah Hindia-Belanda, kekangan pemerintah masa itu dominan juga kepada gerak-gerik wartawan.

Kekerasan terhadap wartawan pun ikut dirasakan oleh surat kabar pemerintah Hindia Belanda. Bataviaasch Handelsblad yang mempunyai tujuan untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan pemerintah yang penting. Tapi, ketika H.J Lion menulis artikel tentang gaji pegawai yang di bayar setengah. Penulis artikel tersebut akhirnya masuk penjara selama satu setengah tahun.

Awal tahun 1900-an sensor terhadap pers oleh pemerintah Hindia-Belanda agak melonggar. Beberapa surat kabar bisa mengkritik pemerintahan kolonial dengan bebas karena pada tahun 1906, sensor ditiadakan dan pasal 17 mengenai pencetak surat kabar bertanggung jawab apabila penulis karangan tidak bisa dituntut dalam undang-undang pers 1856.

Masa-masa awal 1900-an bisa dibilang era liberalisme dalam pers di Hindia-Belanda. Namun, imbasnya pemerintahan Hindia-Belanda memusuhi wartawan yang biasa mengkritik pemerintah. Seperti, Wybrands  yang menjadi perhatian dunia jurnalisme Hindia-Belanda saat itu menjadi musuh pemerintah.
Kebebasan berpendapat pun tidak hanya dirasakan para kaum Eropa di Hindia-Belanda, Rakyat pribumi dan peranakan Tiong Hoa pun mulai merasakan kebebasan ini dengan didirikannya Voolksrad(Dewan Rakyat)  pada tahun 1918. Voolksrad ini sendiri bertujuan memberikan kesempatan  kepada pribumi Hindia-Belanda (Bangsa Indonesia)  untuk bersuara di pemerintahan.

Namun, ketika kebebasan berpendapat di pemerintahan diberikan kepada rakyat. Pada tahun yang sama juga diberlakukan sebuah  peraturan untuk pers yaitu Haatzai Artikelen. Peraturan yang biasa disebut peraturan Artikelen ini kurang lebih berisi tentang ancaman hukuman bagi siapapun yang menyebarkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah belanda atau Hindia-Belanda.

Lalu, peraturan tersebut diperkuat lagi pada tahun 1931 dengan Persbreidel Ordonnantie. Secara kasar, peraturan ini membuat hak Gurbenur Jendral untuk membredel pers yang mengkritik pemerintah. Namun, penjelasan secara halusnya, peraturan ini bertujuan untuk melarang penerbitan yang bisa menganggu penertiban umum.

1942, Jepang datang ke Hindia-Belanda dengan mengaku saudara tua dari timur Asia. Saat itu pula, berbagai macam peraturan Belanda dihapuskan oleh Jepang. Termasuk juga Undang-Undang pers yang di terbitkan Belanda akhirnya diganti dengan Undang-Undang nomor 16 yang berlaku di Jawa dan Madura. Isi dari Undang-Undang nomor 16 zaman penjajahan Jepang ini antara lain memberikan sistem lisensi dan sensor yang cukup preventif.

Semua media yang ada harus memiliki lisensi dari Jepang dan bagi media yang memusuhi Jepang dilarang untuk terbit. Jepang pun semakin mencampuri isi redaksi media dengan menempatkan Shindooin (Penasehat) di setiap keredaksian surat kabar. Tugas dari Shindooin tersebut adalah untuk mengontrol dan menyensor tulisan dari setiap media. Bahkan, Shindooin ini juga ikut menulis di media yang ia kontrol tapi dengan nama redaksi media tersebut. Isi berita yang ditampilkan semuanya seperti menjadi House Jurnal (Media Humas) Jepang. Jepang memainkan opini public bahwa mereka saudara tua dari timur Asia dan menyebarkan propaganda 3A yaitu, Jepang pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia dan Jepang Cahaya Asia.

Walaupun kekangan terhadap pers untuk mengkritik pemerintahan Jepang di Hindia-Belanda amat kuat. Namun, pers pada zaman Jepang ini dominan menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga, Bahasa Indonesia yang pada sumpah pemuda 1928 dijadikan bahasa persatuan ini, semakin meluas penggunaannya ke seluruh negeri. Alasan, Jepang lebih menggunakan Bahasa Indonesia sendiri agar pesan yang disampaikan bisa dimengerti oleh masyarakat Indonesia.

Komentar