![]() |
Para siswa bersih-bersih kelas dalam jadwal piket mereka, berbeda dengan guru yang memaksa bersih-bersih kelas demi adipura untuk nama sekolah. |
Kali ini sebuah kisah ketika siswa di eksploitasi untuk nama sekolah. Itu pandangan saya melihat fenomena yang ada. Ini mungkin hanya salah satu contoh, karena saya mengalaminya. Saat itu ada piala adipura untuk tingkat SMA di Jakarta. Jelas, semua komponen sekolah kecuali siswa sibuk memikirkan bagaimana caranya agar bisa meraih adipura tersebut.
Lalu, siswa yang tidak tahu apa-apa mengenai piala adipura, apa hadiahnya dan siapa penyelanggara konkritnya selain embel-embel kota Jakarta di suruh bersih-bersih kelas dan halamannya. Rutinitas ini membuat saya melihat siswa yang bayaran untuk mencari ilmu kok malah di suruh bersih-bersih untuk meraih adipura.
Rasa kesal terus terpupuk secara perlahan, karena semakin hari, semakin sering di suruh bersih-bersih kelas setiap pagi dengan embel-embel untuk meraih adipura. Sampai akhirnya semua itu saya ungkapkan di depan seorang guru saat ingin pelajaran dia.Karena, sebelum pelajaran di mulai, ia menyuruh bersih-bersih. Jelas saya kesal.
“Ibu, kenapa kami harus bersih-bersih untuk adipura, kami di sini sekolah bayar bukan untuk bersih-bersih tapi belajar,” dengan nada biasa saja menurut saya, tapi tak tahu bagi komunikan yang mendengarnya seperti apa.
“memang kamu bayaran berapa per bulan? satu juta? kalo iya, yaudah sewa OB aja,” di balas dengan guru saya.
“Memang saya bayaran hanya beberapa ratus ribu, tapi di sini untuk mencari ilmu bukan bersih-bersih,” lalu si guru hanya tertawa sinis kepada saya. Untung nilai tidak dipermainkan saat itu. Jelas diingatan saya kelas 2 SMA saat itu.
Lalu, karena bertambah kesal dengan jawaban si guru, sempat saya berniat mengotori kelas saat penilaian adipura dari walikota atau gurbernur, saya lupa saat itu siapa yang menilai. Cuma, sifat saya yang males, akhirnya semua ittu tidak dilakukan, Namun, yang dilakukan adalah kalau tidak salah kelas saya tidak dibersihkan saat penilaian tersebut.
Di sini saya ingin menyambungkan dengan sebuah pernyataan, “berikanlah hak kepada rakyat dulu baru minta kewajiban kepada rakyat.” Saya melihat kondisi seperti itu adalah siswa yang harus berkorban untuk kebaikan nama sekolah. Padahal sekolah tidak memberi apa-apa. Ilmu yang diberikan pun karena si siswa sudah membayar uang sekolah bukan?
Jadi penekanan di sini masyarakat Indonesia sudah di doktrin oleh ungkapan lama, “jangan bertanya apa yang akan kau dapatkan, tapi tanya apa yang bisa kau lakukan?” itu adalah kamuflase eksploitasi manusia. Ketika seorang manusia di minta melakukan sesuatu tapi tidak tahu ia mendapatkan keuntungan apa.
Ungkapan tersebut harus diganti menjadi, ” Tanyakan apa yang akan kamu dapatkan, Lalu tanyakan apa yang bisa kamu perbuat,” tampaknya lebih relevan.
Komentar
Posting Komentar