Soeharto menjadi presiden kedua Indonesia
setelah era Soekarno berakhir. Pada awal masa kepemimpinannya, Soeharto
menjanjikan sebuah kebebasan kepada pers. Namun, di tengah tuntutan
harus memperbaiki negara dari beberapa sektor. Pers yang tadinya
dijanjikan akan diberikan sebuah kemerdekaan atau kebebasan seperti
hanya sebuah angan. Karena SIT dan SIC pada era Soekarno masih berlaku
pada zaman Soeharto.
Masa suram pers pada era orde baru ini mulai tampak 1972, ketika majalah Sendi dianggap telah memuat tulisan yang menghina kepala negara dan keluarganya. Akhirnya surat izin terbit Sendi diambil dan para petinggi redaksinya di gugat ke pengadilan. Setelah kejadian tersebut, setahun kemudian Sinar Harapan menjadi korban selanjutnya dari rezim Orde Baru ini.
Belenggu terhadap pers semakin bertambah dari
pemerintah, pasca peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974
kekangan terhadap pers semakin kuat. Sebanyak 12 penerbitan pers di
bredel. Pers dituduh pemerintahan Soeharto sudah menjurus kea rah
melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional seperti modal asing,
dwifungsi, korupsi, kebobrokan aparat pemerintah yang dianggap merusak
kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Pembredelan pun terus berlanjut
terus menerus hingga tahun 1990-an.
Era Soeharto pun merubah fungsi Departemen
Penerangan yang tadinya hanya sebatas layanan masyarakat dalam hal
informasi dan komunikasi berkembang menjadi alat untuk menyukseskan
program pemerintah, menjaga legitimasi pemerintah dan ketertiban umum.
Selain itu, era orde baru ini juga menggabungkan SIT dan SIC menjadi
SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan) yang penggunaannya semakin ketat.
Pada masa Soeharto ini, persnya dinamakan
sistem pers pancasila dimana pers berjalan sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Bayangan dari pers pancasila ini adalah pers yang bebas
bertanggung jawab serta obyektif dan sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Namun, semua itu hanya sebuah teori, kenyataannya pers pancasila adalah
sebuah alat politik dimana pers dijadikan alat pemerintah.
Pers menjadi alat melanggengkan pemerintahan
Soeharto hingga 32 tahun, walaupun tidak semua media berjalan terpaksa
mengikuti pemerintah. Namun, nasib media-media yang berani pun harus
kandas di tangan pemerintah yang membredel mereka.
Memasuki tahun 1980-an, pers Indonesia
seperti tiba di era pers industri. Bisnis informasi menjanjinkan
keuntungan yang besar. Sehingga, banyak media yang lebih mementingkan
keuntungkan daripada beridealisme ria dan berujung pada pembredelan.
Sehingga pemberitaan yang mengedepankan kepedian masyarakat dan sosial
menumpul. Namun, masih ada beberapa media yang masih berjuang melawan
komplotan Soeharto walaupun harus berakhir di Bredel tapi mereka tetap
terus berjuang mengikuti kata pepatah, “Banyak Jalan Menuju Roma.”
Ketika SIT dan SIC disatukan menjadi SIUP,
untuk memperoleh sebuah SIUP itu amat sulit. Namun, untuk dicabutnya
sebuah SIUP oleh pemerintah itu semudah membalikkan tangan. SIUP
bagaikan hantu bagi pers Indonesia saat itu dan pemerintah bagaikan
malaikat pencabut nyawa yang siap kapanpun mencabut nyawa pers bila
melawan. Lalu, pada tahun 1980-an Departemen Penerangan saat itu
memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan SIUP.
Kisah klasik pembredelan pers di era orde
baru pun akhirnya membuat sekumpulan wartawan dan mahasiswa naik pitam
di tahun 1994. Hal itu terjadi ketika pemerintah membredel tiga media
terkemuka yaitu, Tempo, Detik dan Editor. Sementara para wartawan bergerak menyerang pemerintah, pers-pers mainstream lebih
memilih jalan aman agar persnya tidak dibredel akibat kekuasaan yang
mudah terlucut emosinya. Apalagi setelah terjadi peristiwa penyerbuan
kantor PDIP. Selain pers mainstream ini ‘mati suri’ mereka juga menikmati keuntungan dari meningkatnya industry pers saat itu.
Ketika krisis besar pada tahun 1998, Soeharto
menyalahkan pers sebagai biang keladi kepanikan warga sehingga mereka
menjarah pasar modern. Selain itu, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
ikut nimbrung di belakang pemerintah dengan mencambuk dengan hukuman
bagi media yang melawan pemerintah. Itu terlihat pada saat majalah D&R
membuat sampul gambar Soeharto dengan judul “Raja Sekop.” Harmoko pun
ingin membawa kasus tersebut ke pengadilan karena sebagai tanda
penghinaan terhadap presiden. Namun, PWI terlebih dahulu menghukum
pemimpin redaksi majalah tersebut dengan hukuman dua tahun.
Saat itu pada tahun 1995, dengan melihat Amerika yang mulai memainkan kehidupan pers online.
Akhirnya, media-media Indonesia pun mencoba menempuh jalur pers dunia
maya. Hasilnya, kebebasan di dunia maya lebih leluasa dibandingkan dunia
nyata. SIUP yang menjadi hantu pers dunia nyata tidak berlaku di dunia
maya. Akhirnya kritikan pers yang cukup radikal mengenai kepemimpinan
Soeharto tertuangkan di pers dunia maya ini.
Sebelum Soeharto akhirnya mengundurkan diri
sebagai presiden pada 21 Mei 1998, ia menuduh pers tidak proposional dan
disinformasi. Namun, kemarahan Soeharto kali ini tidak membuat pers
Indonesia ciut nyalinya dan hasilnya ia pun turun sebagai presiden RI
selama 32 tahun.
Komentar
Posting Komentar