Latah Istilah Asing



Secara kasat mata, istilah asing seperti memiliki nilai lebih daripada istilah Indonesia. Namun, fenomena tersebut tidak berarti menurunkan nilai Bahasa Indonesia. Kejadian tersebut bisa disebut “Latah Istilah Asing” yang disebabkan lebih sering munculnya istilah tersebut di masyarakat umum. 

Latah istilah asing ini sudah marak pada era 90an, tepatnya pada saat Wardiman Djojonegoro menjadi Menteri Pendidikan dan Budaya sudah dibahas. Dalam kurun waktu dari era Orde Baru sampai sekarang ini banyak istilah asing yang berguguran dan juga tetap bertahan. “Tidak semua istilah asing bisa masuk dan akhirnya diserap ke dalam bahasa Indonesia, Jadi banyak juga istilah asing yang tidak populer dan gugur,” Ujar Agus Nero (45), Dosen jurusan sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Masalah ini dinilai bukan sesuatu yang besar karena tidak ada gejolak yang timbul dari dulu sampai sekarang. Dampaknya pun hingga saat ini tidak terasa begitu besar. Karena selama masih ada yang menggunakan Bahasa Indonesia maka bahasa yang menjadi alat persatuan bangsa Indonesia ini tidak akan mati. Namun, belakangan ada kecemasan dari berbagai pengamat Bahasa Indonesia dan beberapa tokoh tentang kecintaan pemuda Indonesia sekarang terhadap Bahasa Indonesia.

Ketakutan itu muncul karena gencarnya media massa menggunakan berbagai istilah asing yang akhirnya  menjadi populer dikalangan pemuda Indonesia. Gencarnya media massa dengan istilah asingnya ini menurut Tendy K. Soemantri (43), Redaktur Pikiran Rakyat disebabkan istilah tersebut lebih populer daripada istilah Indonesianya. Sehingga ketika, dijadikan Bahasa Indonesia, pembaca malah bingung karena tidak tahu artinya.

Tendy pun menceritakan saat ia sempat mencoba mengubah kata “Event” menjadi “Even” dalam tulisan di Pikiran Rakyat. Namun, ia menuturkan perubahan tersebut membuat bingung pembaca karena banyak pembaca menafsirkan kata “Even” itu adalah bahasa asing.

“Padahal saya sudah tidak mencetak miringkan tulisan tersebut, Namun pembaca tetap bingung dan mengartikannya menjadi bahasa asing,” Ujar Pria yang sudah sembilan tahun tidak menjadi wartawan lapangan lagi ini.
*
Agus, pria kelahiran Bandung, 17 Juni 1966 ini menganalogikan pohon sebagai sebuah tata bahasa. Lalu, daun-daun diibaratkan kosa katanya. Jadi, ada daun yang berguguran dari pohonnya dan tetap tumbuh. Lalu, daun yang tumbuh ini terbagi lagi menjadi dua yaitu yang tumbuh teratur dan tidak beraturan. Daun yang tumbuh tidak beraturan ini maksudnya kosa kata yang lahir dari istilah asing.

Ia menjelaskan, pertumbuhan kosa kata ini sulit untuk dibendung. Apalagi istilah asing yang sering digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. “Cukup sulit membendung sebuah kebiasaan bukan?” tanya pria tersebut dengan tangan yang berusaha merepresentasikan ucapannya.

Jika dalam kehidupan keseharian atau tidak resmi maka penggunaan kosa kata asing tak masalah. Namun, bila itu terbawa sampai kegiatan resmi, misalnya pidato, presentasi  dan sebagainya maka baru itu sebuah masalah. Namun, sekarang ini banyak kegiatan resmi dari pejabat sampai mahasiswa menggunakan istilah asing di setiap ucapannya.

Selain itu, fenomena banjirnya istilah asing di Indonesia ini juga tampak pada berbagai karya ilmiah dan pemberian nama hasil inovasi. Memang beberapa istilah asing merupakan bagian dari bahasa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Namun, banyak dalam karya ilmiah menggunakan istilah asing yang bukan merupakan kajian ilmiah.

“Dibutuhkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat, dosen, mahasiswa, pemerintah dan media massa untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap Bahasa Indonesia,” ujar Agus.

        Namun, hadirnya istilah asing di Indonesia bukan berarti mematikan Bahasa Indonesia dan memberikan berbagai dampak buruk lainnya. Menurut Agus, beberapa hal baik dari hadirnya istilah asing adalah kosa kata Indonesia semakin kaya dengan berbagai kosa kata serapan bahasa asing. Karena masih banyak bahasa asing yang belum ada padanan katanya di Bahasa Indonesia.***

Komentar