Nasionalisme 'Traveller'



Jas Merah (Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah)
Sebuah ungkapan populer yang diucapkan oleh presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno. Kalimat tersebut mungkin populer, tapi kenyataannya banyak masyarakat Indonesia yang tak mengacuhkan sejarah.
Sejarah pun di daulat menjadi mata pelajaran ter-membosankan paling pertama oleh para pelajar Indonesia. Beberapa pemuda pun mengatakan bahwa sejarah menjadi membosankan karena tampilannya terlalu kontekstual dan kaku.

Berbeda dengan di Jepang, sejarah dijadikan sebuah cerita kartun yang digemari anak-anak sampai dewasa. Sehingga, sejarah dipelajari sambil menyaksikan kisah kartun yang menarik.

Akhirnya, dalam beberapa tahun ke belakang Indonesia pun mengikuti cara yang sama.Walaupun tidak lewat film kartun, tapi film layar lebar. Salah satu filmnya adalah trilogi Merah Putih yang digemari dari remaja sampai orang tua. Melihat animo masyarakat Indonesia menyaksikan film bernuansa sejarah tersebut, ada sebuah harapan membuat masyarakat peduli dengan sejarah lewat tayangan film dan sebagainya yang menarik.

Selain film, berbagai novel mengenai sejarah pun mulai bermunculan. Salah satunya adalah Ken Dedes : Sang Penggoda , sebuah kisah narasi sejarah berdirinya kerajaan Singhasari. Walaupun, khalayak untuk novel dominan remaja ke atas, namun itu merupakan cara membangkitkan kesadaran masyarakat akan sejarah.

Nasionalisme dan Sejarah

“Sejarah berhubungan dengan pembentukan karakter dan identitas bangsa, karena dalam sejarah dipelajari juga budaya yang terjadi di suatu bangsa,” Ujar Bonnie seorang sejarawan di salah satu sesi seminar festival Indonesian Youth Conference 2012.

J. J Rizal, seorang sejarawan mengatakan, dominan bangsa Indonesia itu tidak tahu apa itu Indonesia. Ia mengartikan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu sejarah Indonesia. Karena ketidaktahuan atas sejarah Indonesia ini maka nasionalisme pun tampak mati.

Berbicara nasionalisme, Bonnie mengartikan nasionalisme itu cair, sehingga akan selalu mengalir dan tidak akan mati. Sementara itu, J.J Rizal mempunya pendapat lain tentang nasionalisme, ia mengartikan nasionalisme adalah proses. Tapi, tetap intinya adalah nasionalisme tidak akan pernah mati.

Nasionalisme bukan sekedar marah-marah ketika budaya Indonesia diklaim oleh negeri tetangga. bukan sekedar menggunakan jersey timnas sepakbola Indonesia. tapi nasionalisme adalah buah pemikiran yang berisi tentang semangat memajukan negara dan bangsa. Soekarno pun memiliki istilah untuk nasionalisme yang sekedar menggunakan jersey atau marah-marah ketika budaya di klaim negeri lain dan sebagainya yaitu nasionalisme ‘kemenyan’.

“Kemudian yang lebih tenar dari masa kolonial sampai sekarang adalah nasionalisme ‘traveller’, ujar Rizal. Maksud dari nasionalisme traveler adalah seorang pribumi yang belajar di luar negeri dan ketika kembali ke kampung halaman membawa buah pemikiran dari luar sana.

Padahal, tidak sedikit dalam sejarah, buah pemikiran lahir dari pribumi yang belajar di dalam negeri. Contohnya saja Soekarno, ia baru belajar ke luar negeri ketika sudah mengeluarkan pemikirannya dan sukses di dalam negeri.

Dampak dari nasionalisme ‘traveller’ adalah bangsa Indonesia lebih melihat bahwa sukses bisa datang ketika mengambil pendidikan ke luar negeri. Dampak itu pun masih berlangsung sampai detik ini.
Pemikiran yang sampai di Indonesia dan dijalankan dalam pemerintahan sampai saat ini dominan adalah pemikiran dari luar yang di bawa oleh kaum-kaum pelajar dari luar negeri. Dalam, psikologi Indonesia bisa dibilang masih dalam tahap meniru, tahap meniru ini bila dalam manusia hitungannya adalah rentan usia anak-anak.

Pada tahap meniru ini, kebingungan melanda akibat melihat perkembangan yang melanda. Sehingga, akhirnya peniruan yang sedikit disesuaikan dengan kondisi terus digunakan sampa menemukan apa yang sesuai. Namun, sampai kapankah Indonesia berada di tahap meniru ini?

Komentar