Revolusi dan Pengekangan

Pemberontakan Madiun pada tahun 1948 yang membuat beberapa pers menjadi partisan FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang beridealisme komunis

17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, secara de facto Indonesia sudah menjadi negara yang merdeka, Walaupun dunia saat itu belum mengakuinya. Dua hari setelah kemerdekaan Indonesia, didirikanlah kementrian penerangan. Namun, fungsi kementrian penerangan ini bukanlah untuk mengontrol pers, karena dari 1945 sampai 1948 pers di Indonesia amat bebas. Terlihat dalam kurun waktu dua tahun, surat kabar yang bermunculan begitu banyak.

Namun, pasca pemberontakan di Madiun, militer Indonesia melakukan pembatasan terhadap pers. Saat itu, beberapa pers, menjadi pers partisan dari FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang mempunyai idealisme komunis. Militer Indonesia akhirnya mengeluarkan peraturan Ordonansi Komisi Pertahanan Negara No.11 Tahun 1946. Inti dari peraturan tersebut adalah mengawasi urusan percetakan dan penerbitan serta mengatur perubahan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda.

Berhubung saat itu Belanda juga memulai agresi militernya di Indonesia, peraturan yang dikeluarkan militer tersebut hanya berlaku di daerah Republik Indonesia saja. Sementara wilayah Indonesia yang dikuasai Belanda masih menerapkan undang-undang pers masa kolonial Belanda dahulu.

Setelah 27 Desember 1949 Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia, kehidupan pers dan pemerintah seperti perangko. Pemerintah amat menyuarakan kebebasan pers, mereka pun berpendapat bahwa kebebasan pers adalah sesuatu yang mutlak bagi kebebasan jiwa manusia. Namun,  hubungan baik antara pers dan pemerintah hanya sampai pada seratus hari setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda.
Hubungan antara pemerintah dan pers memburuk ketika pers mulai mengkritisi pemerintah. Sementara negara belum stabil pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda, sehingga mudah goyah akibat kritikan dari pers ini.

Ketika pers dan pemerintah saling serang, akhirnya pemerintah membuat keputusan menggunakan peraturan Indische Staatsregeling (termasuk Persbreidel Ordonnantie )yang berasal dari Undang-Undang Dasar kolonial Belanda. Pers pun terpaksa tunduk di bawah kekuasaan yang semakin otoriter. Cita-cita yang diungkapkan pada seratus hari pasca pengakuan kedaulatan pun sirna, kebebasan pers yang didambakan awalnya oleh pemerintah telah berubah menjadi pengekangan seperti masa kolonial Belanda.

Landasan yang digunakan untuk pers sendiri pada masa itu awalnya  adalah konstitusi 1949 dan UUDS 1950 yang berisi setiap orang mempunyai hak  atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Namun, ada keluhan dari wartawan pers Indonesia terhadap pers Belanda dan Cina, maka pemerintah pun melakukan bredel terhadap pers asing yang dianggap berbahaya. Namun, akibat hubungan yang merenggang antara pers dan pemerintah Indonesia. Akhirnya, pemerintah pun juga mengekang pers Indonesia.

 Pada Juni 1954, peraturan pers yang diadopsi dari undang-undang masa kolonial dihapuskan oleh pemerintah. Tapi, peraturan penggantinya tidak jauh berbeda dari sebelumnya, Pemerintah masih mempunyai wewenang untuk menekan pers. Namun, penekanan terhadap pers tidak sekuat sebelum tahun 1954. Kritikan terhadap presiden meningkat, kemudian gerakan anti pers menurun drastis.

Ketika penekanan terhadap pers semakin mengendor, pers pun terus menekan pemerintah dan kaum militer. Pada 14 September 1956, tindakan kritik pers tersebut membuat kepala staff angkatan darat selaku penguasa militer mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan tulisan yang memiliki gambar, klise atau memuat unsur kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakilnya. Pasal tersebut juga berlaku pada tulisan yg berisi pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan.

Pasal yang dikeluarkan militer itu dinilai mirip seperti peraturan Haatzai Artikelen 1918 pada masa kolonial Belanda. Peraturan tersebut membuat beberapa pemimpin redaksi surat kabar yang berani mengkritik pemerintah di penjara.

Tahun 1957, kondisi Indonesia semakin kacau, Soekarno mengumumkan bahwa Indonesia dalam keadaan bahaya dan menngumumkan situasi darurat perang. Setelah pemberlakuan SOB 14 Maret 1957, peraturan pers Haatzai Artikelen dihapuskan. Namun, peraturan era kolonial tersebut diganti dengan izin terbit bagi setiap surat kabar. Masa-masa ini pembredelan dan hukuman kepada para wartawan semakin sering, bahkan pemberitaan di Indonesia yang akan di bawa ke luar negeri pun ditahan oleh pemerintah.

Kemudian aturan tentang pers diperkuat lagi dengan diterbitkannya penpres no.6/1963. Dalam aturan tersebut semakin jelas tentang izin terbit sebuah media. Dalam peraturan tersbeut juga dijelaskan bahwa pers harus menjadi corong pemerintah. Kekangan terhadap pers semakin menguat pada masa ini.

Kondisi Indonesia semakin mencekam ketika tercerusnya gerakan 30 September 1965. Saat itu pula pers mulai di bungkam dengan beberapa peraturan. Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda) dengan diterapkan Surat Izin Cetak (SIC). Jadi, selain ada surat izin terbit, setiap edisi harus mempunyai surat izin cetak. Sebelum dicetak isi yang akan dipublikasikan oleh surat kabar harus dilihat terlebih dahulu isinya.

Peraturan semakin diperketat dengan dikeluarkannya peraturan Surat Izin Pembagian Kertas (SIPK). Bagi media yang tidak patuh terhadap peraturan yang ada maka distribusi kertas untuk media cetak mereka ditiadakan. Walaupun tak lama setelah itu, akhirnya masa kepemimpinan Soekarno akhirnya berakhir.

Komentar