Penyimpangan Logika di Negeri Liberal

Al-Azhar Memorial Garden sebuah komplek kuburan mewah karya yayasan Al-Azhar di daerah Karawang


Pagi di hari minggu disuguhi dua surat kabar, satu lingkup nasional dan satunya lagi lingkup lokal Jawa Barat. Tapi, di surat kabar nasional ada sesuatu yang menarik perhatian saya, yaitu sebuah judul di halaman muka, "Kehidupan : Berburu Kuburan Selagi Hidup." Saya pun jadi tertarik untuk membaca lebih lanjut sebuah berita khas akhir pekan ini.

Baru setengah tulisan saya baca, langsung sebuah simpulan lahir di kepala saya. Manusia kini sudah bingung mau memuaskan dirinya, hingga akhirnya mencari liang lahat terakhir yang mewah bahkan harganya sangat fantastis. Dalam berita tersebut, salah seorang anak muda menjelaskan alasannya membeli tanah untuk kuburan dengan cicilan Rp5 Juta/ bulannya tersebut. Alasannya adalah karena belum punya banyak kebutuhan, Rumah masih tinggal dengan ibu dan mobil masih dijemput mobil perusahaan.

Belum lagi, ada yang sudah memesan tanah kuburan untuk keluarga besar beserta nisan dan nama yang sudah tertera di sana. Alasan para pemesan tanah tersebut agar bisa dekat dengan keluarga bila sudah mati. Logikanya adalah apakah bila sudah mati dengan kuburan saling bertetanggaan dengan keluarga bisa saling bersilahturahmi kalau lagi lebaran dan sebagainya? yang tertinggal dalam kuburan hanyalah jasad mati tak bernyawa dan akan menyuburkan tanah untuk siklus rantai makanan.

Namun, sebenarnya yang menjadi penyebab tren membeli kuburan sebelum mati ini bukanlah alasan di atas. Tapi, para penyedia kuburan mewah di daerah karawang. Mereka menawarkan kuburan seolah menawarkan rumah untuk ditinggali. Tapi, alasan mereka membangun usaha kuburan ini juga dilandasi oleh budaya bangsa Indonesia yang suka 'nyekar' walaupun beberapa golongan bangsa Indonesia memandang doa dari rumah juga sampai ke yang sudah mati. Karena budaya itu, ada peluang usaha di bidang kuburan ini dan tergolong cukup sukses melihat angkayang tertera di surat kabar yang saya baca. Salah satu diantaranya yang berdiri pada tahun 2006 sampai sekarang sudah terjual 30.000 unit makam. Belum lagi di sebuah komplek kuburan yang sampai saat ini menyediakan 400 unit sudah laku sekitar 200 unit kuburan.

Melihat fenomena ini, mungkin saja di masa depan tren membeli kuburan sejak dini menjadi kebutuhan primer.  Selain itu, bisa jadi punya kuburan sejak dini menjadi nilai tersendiri yang menunjukkan tingkat kemakmuran seseorang layaknya punya mobil bermerek eropa edisi terbatas.

Menurut saya, fenomena ini membuktikan semakin rusak logika manusia bila hidup disebuah sistem yang liberal. Bukannya mencari tempat terbaik di akhirat dengan cara beribadah dan melakukan tindakan baik sesuai agamanya masing-masing. Malah adu gengsi mencari kuburan terbaik dan mewah. Bahkan sampai seorang jenderal ingin dikuburkan dekat ajundannya, tertulis dalam surat kabar tersebut.

Apalah arti kuburan mewah kalau mati dengan noda yang tersisa di dunia?

Komentar