Nostalgia : Wisata Potongan Kepala Koruptor

Andai wisata kepala koruptor benar-benar ada, maka kepala Djoko Susilo bersiap jadi penghuni baru tempat wisata tersebut

Sekitar pertengahan tahun 2006, menuju akhir sih kayaknya, saya masih duduk di bangku sekolah menengah dan bertampang lucu. Saat itu sedang pelajaran kewarganegaraan dan membahas tentang korupsi. Lalu, tugas kami para siswa saat itu di suruh menuliskan pendapat dan cara pemberantasan serta pencegahan korupsi di Indonesia.

Saat itu, dalam hati yang terdalam dengan semangat saya menulis bahwa koruptor itu harus di hukum mati. Bahkan, biar efek jera lebih terasa kepala para koruptor yang sudah mati di gantung pada sebuah tempat khusus. Nantinya tempat itu akan dibuat semacam tempat wisata untuk melihat wajah-wajah asli para koruptor di Indonesia.

Ketika, secarik kertas rombeng itu dikumpulkan, lalu satu per satu dibacakan oleh sang pengajar. Sampai tiba saatnya giliran punya saya yang dibacanya. Kemudian, ekspresi si guru agak aneh sambil mengatakan apa yang dituliskan di kertas rombeng itu. Komentar dari sang pengajar pun dengan kalimat langsung mengatakan, "Pemberantasan seperti melanggar HAM dan itu tidak baik."

Saya pun langsung segera menyangkal dan mengatakan bahwa tindakan mereka para koruptor pun sudah melanggar HAM. Kemudian, si guru terdiam dan tersenyum kecil lalu melanjutkan ke secarik kertas rombeng selanjutnya. Tapi, dalam hati saya masih menggerutu kenapa siksaan untuk menghukum para koruptor malah dibilang melanggar HAM.

Namun, mungkin bila hal yang saya tuliskan itu benar terjadi, bisa jadi  akan memberikan dampak dendam kepada keluarga si pelaku koruptor. Kemungkinan, akan melahirkan konflik baru yang lahir dari anak-anak para pelaku koruptor yang di hukum mati dan kepalanya di gantung pada tempat wisata wajah koruptor. Tapi, ada kemungkinan pula dampak positifnya, yaitu efek jera.

Kelanjutannya pun kini di buat, untuk mencegah konflik yang terjadi. Keluarga koruptor diberikan pilihan, mengembalikan sejumlah materi dengan jumlah yang sama apapun caranya dan tidak mengembalikan materi sama sekali. Tapi, ya tadi kembali, tinggal rasa malu yang tersisa. Kalau pun akhirnya tidak dikembalikan, setidaknya akan membuat orang-orang selanjutnya berpikir dua kali untuk melakukan penyimpangan semacam korupsi dan kompolotannya. 

Komentar