Bebicara mengenai pelatih timnas Indonesia, mungkin yang banyak hadir di benak adalah Ivan Kolev, Rahmad Darmawan atau Alfred Riedl. setelah Ivan Kolev tahun 2004 membawa Indonesia ke Final Piala Tiger (sekarang AFF) yang harus kalah tragis melawan Singapura .Pada tahun 2007 menampilkan permainan yang apik pada putaran Final Piala Asia 2007 di Jakarta. Meskipun Indonesia gagal lolos ke babak selanjutnya, tapi apresiasi banyak diucapkan para pencinta timnas Indonesia saat itu.
Alfred Riedl pun serupa tapi tak sama dengan Ivan Kolev, ia berhasil membawa Indonesia ke Final Piala AFF 2010 dan dikalahkan Malaysia yang juga menandakan akhir masa kepengurusan Nurdin Halid sebagai ketua PSSI saat itu. Sayangnya, ketika terjadi pergantian kepengurusan PSSI, posisi Riedl malah tersingkir dengan berbagai alasan dari kepengurusan yang baru. Akhirnya, karir Riedl di Indonesia berakhir secara anti klimaks.
Rahmad Darmawan mempunyai catatan yang berbeda dari keduanya, ia menukangi timnas U-23 yang bertarung di SeaGames 2011 Palembang. Rahmad hampir membuat sejarah dengan meraih emas kedua kalinya di cabang sepakbola. Namun, semua kandas ketika timnas Indonesia dikalahkan Malaysia. Kekalahan dari Negeri Jiran tersebut menjadi penampilan terakhir Rahmat Darmawan bersama timnas Indonesia. Karena tak bebas memilih pemain, akhirnya pelatih yang punya karir cukup bagus di liga Indonesia itu mengundurkan diri.
Namun, dibalik ketiga nama besar itu, ada seorang pelatih timnas yang meraih 5 dari 7 piala yang berhasil Indonesia raih di kancah internasional. Saya pun bila tidak melihat buku biografinya di sebuah toko buku, mungkin sampai detik ini tidak akan mengenalnya. Drg. Endang Witarsa atau Liem Soen Joe, dalam judul biografinya disebut Dokter Bola Indonesia ini mempunyai banyak kisah menarik dan inspiratif bagi persepakbolaan Indonesia. Apalagi, prestasi timnas Indonesia saat ini tengah meluncur tajam ke bawah.
Dalam buku setebal 192 halaman tersebut diceritakan bagaimana Lim Soen Joe ini mencintai sepakbola. Ketika kecil ia menjadi ketua geng kelompoknya dalam bermain bola sampai dikira pengkhianat karena bergabung dengan klub Belanda ketika sedang mengejar gelar sarjana dokter giginya. Namun, sepanjang sebagai pemain bola, memang kurang begitu menonjol karena kondisi Indonesia saat itu yang masih peralihan dari masa penjajahan ke era kemerdekaan.
Kisah menarik dalam buku ini tampak pada bagian cerita saat Lim Soen Joe melatih klub sampai timnas Indonesia. Diceritakan pula bagaimana Lim Soen Joe mencari bibit-bibit pemain ke daerah-daerah. Seperti saat di Tasikmalaya, saat itu tim yang dilatihnya UMS sedang mengadakan uji coba ke Tasikmalaya. Saat pertandingan melawan tim lokal, ada seorang penyerang dari tim lawan yang melakukan tendangan yang kencang lalu mengenai pohon kelapa dan membuat kelapa di pohon tersebut terjatuh. Melihat hal tersebut, Endang Witarsa (nama lain Liem Soen Joe) menemui pemain tersebut setelah pertandingan usai.
Selain itu, ada pula cerita keisengan anak didik Endang Witarsa ketika dilatihnya. Ada seorang pemain yang bernama Martin membohongi Endang Witarsa dengan mengatakan bahwa ayahnya baru saja meninggal sehingga ia tidak bersemangat. Karena pelatih keras kepala itu terlalu baik, ia pun memberikan sejumlah uang kepada pemainnya tersebut dan menyuruhnya pulang. Namun, keesokan harinya saat Endang Witarsa bersama asistennya ke rumah si pemain, yang membukakan pintu rumahnya adalah ayah si pemain yang kemarin ia bilang sudah meninggal.
Tak hanya kisah ketika Endang Witarsa melatih dan menikmati masa tuanya saja yang dituliskan dalam buku ini. Tapi juga tentang taktik yang di gunakannya, dari pada masa keemasannya dengan formasi 4-2-4 yang di adopsinya dari Brazil saat itu. Sampai, pada masa kelamnya, ketika ia tidak mempunyai pemain berkualitas sehingga harus menggunakan formasi 1-4-3-2 agar tidak terlalu kalah dengan margin yang besar. Beberapa teknik melatih fisik sampai teknik ala Endang Witarsa juga dituliskan dalam buku ini yang tentunya masih relevan untuk membentuk seorang pemain yang berkualitas tapi fasilitas terbatas.
Namun, buku yang pada cetakan pertamanya Desember 2010 ini masih ditemukan beberapa kesalahan teknis seperti menulisan kata dan peletakkan paragraf. Dalam meletakkan paragraf masih banyak salah sehingga membuat kebingungan pembaca, perpindahan dari paragraf satu ke yang lainnya kurang begitu baik karena membuat satu paragraf malah jadi anti-klimaks. Namun, gaya penulisan yang berkisah membuat buku ini enak untuk di baca bagi para penggemar sepakbola Indonesia.
Beberapa poin dalam buku ini bisa dijadikan inspirasi oleh anak muda dan mungkin para pengurus PSSI dan KPSI untuk membangun sepakbola Indonesia lebih jauh. Anak muda bisa menyerap pelajaran dalam buku ini, bahwa tidak ada musuh yang tidak bisa dikalahkan walaupun dia putra dewa sekalipun. Kegigihan, cinta, keyakinan diri, dan kejujuran menjadi dasar keberhasilan. Lalu, PSSI dan KPSI juga bisa mendapat pelajaran bahwa PSSI dibentuk untuk mengayomi sepakbola Indonesia agar bisa lebih maju bukan mengayomi perusahaan seperti Medco atau Bakrie. Semoga saja sepakbola Indonesia segera bangkit kembali dan PSSI bisa menjalankan tugasnya lagi.
Komentar
Posting Komentar