Hegemoni Negara Maju Dalam APEC

Barack Obama, presiden USA yang kembali terpilih ini mengatakan bahwa Asia Pasifik mempunyai potensi besar untuk membantu kembalinya perekonomian USA


APEC (Asian Pacific Economic Cooperation) dan Pasar bebas seolah dua hal yang saling berhubungan. Hal itu terlihat dari tujuan APEC dibentuk pada 1989 yaitu meningkatkan kerja sama ekonomi dan liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Pasifik. Lalu, tema yang di bahas tiap pertemuan pun relatif hampir sama yaitu mengenai pasar bebas agar bisa disetujui oleh WTO (World Trade Organization).
Pada September 2012 di Vladivostok, Russia kemarin, KTT APEC 2012 tersebut memuat empat agenda. Pertama, menguatkan integrasi ekonomi kawasan dan liberalisasi investasi. Kedua, menguatkan kerja sama di bidang pangan. Ketiga, membangun distribusi barang dan jasa yang baik. Keempat, kerja sama yang intensif dalam mengembangkan pertumbuhan yang inovatif.
Keempat agenda KTT APEC 2012, bisa diringkas intinya tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya yaitu ingin segera menciptakan perdagangan bebas. Keinginan melahirkan pasar bebas dalam perdagangan di dunia ini menuai pro dan kontra. Pasalnya, jika pasar bebas dilakukan, maka negara berkembang bisa tercekik dalam perdagangan internasional.
Prinsip dari pasar bebas sendiri adalah agar membebaskan perdagangan antar individu atau perusahaan antar negara. Secara teoritis, pasar bebas akan menciptakan persaingan di mana produk yang dihasilkan dari setiap individu atau perusahaan akan semakin berkualitas.
Namun, hal itu baru akan berlaku apabila kelas ekonomi setiap negara di dunia yang melakukan perjanjian pasar bebas setara. Sebaliknya, apabila kelas ekonominya berbeda, malah akan membuat negara yang lebih rendah kesulitan bersaing dan semakin menurun perkembangan negaranya.
Pasar bebas dan APEC seperti sebuah potensi ekonomi yang cukup besar bagi negara maju. Apalagi cukup banyak negara Asia yang tergabung dalam komunitas negara Asia Pasifik ini. Negara-negara Asia telah menjadi peluang ekonomi yang cukup besar bagi negara maju seperti USA, Kanada dan Russia. Kemudian, peluang keuntungan semakin mengarah ke Asia  setelah pasar ekonomi Eropa tengah menurun.
Presiden Russia, Vladimir Putin pada KTT APEC 2012 kemarin mengatakan bahwa akan memanfaatkan  KTT tersebut untuk menunjukkan ambisi Russia meningkatkan infrastruktur transportasi dari Eropa ke Asia. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan ekspor ke Asia Timur karena permintaan dari eropa berkurang. (Natanews.com 09/09/2012)
Asia Timur menjadi target ekspor Russia karena pertumbuhan ekonominya cukup pesat. Negara seperti Jepang, Korea Selatan dan RRC tengah naik daun dalam hal ekonomi. Walaupun ada analisis bahwa perekonomian RRC berpeluang rapuh yang juga menjadi sorotan dalam KTT APEC 2012. Tapi, setidaknya kondisinya tidak seperti di Eropa yang tengah dilanda krisis ekonomi berkepanjangan.
APEC dalam setiap pertemuannya memang memperhatikan kondisi perekonomian negara-negara di Asia-Pasifik. Contohnya, dalam KTT pada tahun 2012 ini pun mulai menyoroti analisa perekonomian RRC yang diprediksi akan rapuh. Tapi, perhatian APEC terhadap perekonomian anggotanya hanya sekedar menyoroti dengan pembahasan solusi secara umum.  Bahkan di beberapa KTT APEC pembahasan malah melenceng dari permasalahan ekonomi.

Kepentingan Anggota
Pada KTT APEC 2012 di Russia September kemarin, ada pembahasan mengenai produk ramah lingkungan. Indonesia, dalam forum tersebut mengajukan 20 produk ramah lingkungan dan salah satunya adalah Kelapa Sawit. Lalu, China berhasil meloloskan bambu sebagai produk ramah lingkungan negerinya.
Namun, dibalik pengajuan hal tersebut, negara maju masih mendominasi keputusan. Terlihat pada awalnya negara maju anggota APEC membuat daftar berisi 281 produk ramah lingkungan. Namun, karena ketidakmampuan negara berkembang untuk memenuhi jumlah produk tersebut akhirnya jumlahnya diturunkan. Seharusnya, bukan negara maju yang membuat keputusan. Tapi, negara berkembang yang memutuskan, sehingga negara maju mudah untuk menyesuaikan diri.
Meskipun begitu, pengajuan produk ramah lingkungan tersebut tak semata-mata memang ramah lingkungan. Tapi, produk yang diajukan setiap anggota APEC adalah produk yang potensial di daerahnya masing-masing. Bahkan, Indonesia mengajukan kelapa sawit sebagai produk ramah lingkungan.
Padahal, dalam proses pembentukan minyak kelapa sawit harus merusak banyak hutan tropis. Simpulannya adalah bahwa minyak kelapa sawit sesungguhnya bukan produk ramah lingkungan.  Namun, RRC yang mengajukan bambu sebagai produk ramah lingkungan negaranya harus berjuang lebih keras agar disetujui. Padahal, bambu jelas merupakan produk yang memang ramah lingkungan dari segi proses produksi dan penggunaannya. Seolah ada kepentingan terselubung dibalik sorotan terhadap RRC oleh para negara maju anggota APEC.
Lalu, kepentingan negara maju amat terlihat pada KTT APEC 2003, saat itu pembahasan dalam forum bukannya masalah ekonomi tapi tentang terorisme dan nuklir Korea Utara. Saat itulah, terlihat cukup nyata bagaimana dominasi USA sebagai salah satu negara maju anggota APEC. Karena, terorisme dan nuklir Korea Utara saat itu sedang menjadi permasalahan kubu internal USA sendiri. Lagipula, pembahasan kedua hal tersebut sudah melenceng dari tujuan APEC yaitu ekonomi. Padahal, negara berkembang berpendapat agar topik yang dibahas lebih ke permasalahan ekonomi Asia-Pasifik. Tapi, negara berkembang tak berdaya melawan kekuatan negara adidaya tersebut.
Dua hal tersebut memperlihat bahwa APEC adalah wadah yang dimanfaatkan oleh para anggotanya untuk bisa memajukan negara masing-masing. Namun, sayangnya kekuatan anggota APEC yang tak merata karena ada negara maju dan berkembang di dalamnya membuat seperti ada yang mengontrol setiap kebijakan komunitas Asia Pasifik ini. Sampai saat ini pun, negara maju masih mendominasi dalam setiap forum APEC. Negara berkembang, seperti Indonesia sedikit bersuara sampai banyak kritikan dari dalam negeri atas keberadaan Indonesia di dalam APEC.
Seharusnya negara maju tidak merasa lebih superior dibandingkan negara berkembang dalam keanggotaan APEC. Dalam setiap forum, seharusnya lebih egaliter dan negara maju tidak seperti menekan negara berkembang untuk mengikuti segala usulan mereka. Walaupun di beberapa keputusan akhirnya negara maju harus menyesuaikan. Tapi, penyesuaian itu terjadi setelah negara berkembang benar-benar merasa tidak mampu menjalankan segala kebijakan yang dibuat.
Kalau negara maju dalam keanggotaan APEC merasa lebih superior, berarti APEC hanyalah sebuah alat bagi para negara maju di dalamnya untuk mempengaruhi dan membawa negara berkembang ke dalam kebijakan yang menguntungkan para negara maju tersebut.

Ekonomi Politik
Dalam ekonomi politik, bagi yang mempunyai kekuatan lebih akan menggunakan kuasanya untuk meraih keuntungan dari yang lemah. Selain itu, kekuasaan tersebut juga bisa membantu menyelesaikan masalah kaum yang lebih berkuasa dengan memanfaatkan kaum yang lebih lemah.
Hegemoni yang dimanfaatkan negara maju dengan memanfaatkan isu lingkungan merupakan hal lazim. Para negara maju tampak seperti menekan ketika hutan-hutan di negara berkembang (seperti Indonesia) mulai rusak. Padahal, alam Indonesia rusak juga karena ada tangan-tangan pertambangan asing seperti Freeport yang merupakan salah satu perusahaan USA di Indonesia.
Dalam news.detik.com (31/10/2011) pemberitaan mengenai menteri kehutanan yang mengingatkan PT. Freeport untuk tangani limbahnya agar tidak semakin merusak hutan papua. PT. Freeport menghasilkan limbah sejumlah 300 ribu ton per hari, bayangkan dari tahun awal PT Freeport di Indonesia sampai sekarang sudah berapa triliun ton limbahnya merusak hutan Papua.
Hal tersebut juga berlaku pada hubungan multilateral negara-negara Asia Pasifik dalam APEC. Di sana para anggota yang merupakan negara maju menekan negara berkembang untuk segera melakukan kebijakan perdagangan bebas untuk lingkup Asia Pasifik. Dibalik itu semua negara maju dalam APEC ingin menyebarkan idealisme liberal kapitalis, di mana kekuatan individu yang terpenting. Lalu, itu semua lebih menguntungkan negara-negara maju yang individunya sudah siap.
Hegemoni dari negara maju dalam APEC tak hanya sebatas pemaksaan untuk segera melakukan perdagangan bebas, tapi juga pemaksaan untuk mengajukan produk ramah lingkungan di setiap negara. Jumlah pengajuan produk ramah lingkungan yang ditentukan oleh para anggota dari negara maju ini sangat menyusahkan negara berkembang. Namun, mereka (negara maju) pintar memanfaatkan isu lingkungan untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Dalam pengelolaan produk ramah lingkungan, nantinya negara berkembang dalam APEC akan kesulitan karena sumber daya manusia yang masih kurang. Hal ini akan membutuhkan tangan-tangan negara maju untuk membantu menyelesaikan. Nantinya, kemungkinan negara maju ini malah menguasai produk ramah lingkungan di negara berkembang tersebut.
 Hal itu mulai terlihat dari pengajuan para negara maju yang menginginkan tarif bea masuk produk ramah lingkungan hanya 5% atau dibawahnya sampai 0%. Terjadi kericuhan masalah ini dalam KTT APEC 2012 di Rusia kemarin. Namun, RRC melihat bila bea masuk di turunkan 5% hingga 0% akan membuat negara berkembang seperti Indonesia aka lebih memilih produk ramah lingkungan dari USA. Di sini sedang ada persaingan produksi produk yang sama antara RRC dan USA, bedanya USA menggunakan industri ramah lingkungan. Bisniskeuangan.kompas.com  (6/9/2012)
Jadi, di sini USA sengaja ingin memurahkan tarif bea masuk produk industry ramah lingkungan agar dapat bersaing dengan RRC. Itu terlihat dari produk yang dihasilkan oleh industri ramah lingkungan USA dan non ramah lingkungan RRC itu sama. Walaupun RRC bisa dibilang sudah mulai mengarah menjadi negara maju, namun kekuatannya dalam ekonomi politiknya masih lemah. Itu karena idealisme ekonomi politik kapitalis masih menguasai dunia.
Bila APEC hanya menjadi tempat persaingan ekonomi politik antar negara Asia-Pasifik, tampak jelas bahwa negara berkembang dalam  keanggotaan APEC terjajah secara tidak langsung. Walaupun prinsip APEC adalah tidak mengikat tapi kebijakan berdasarkan kompromi semua anggota. Namun, hegemoni negara maju yang mendominasi membuat tetap negara berkembang tertekan dan harus berusaha semaksimal mungkin beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan yang disetujui dalam kompromi.
Meskipun berbagai kebijakan yang awalnya lahir dari persetujuan negara maju bisa berubah bila sulit diikuti negara berkembang. Namun, tetap seperti ada penekanan, misalnya ,mengenai perdagangan bebas yang tahunnya untuk negara maju dan berkembang sudah ditetapkan. Jadi, keuntungan apa yang didapat dari negara berkembang Asia Pasifik dalam APEC, ketika hegemoni negara maju di dalamnya masih mendominasi.

 

Komentar