Tren pencari bakat dari penyanyi, pelawak, pesulap, koki sampai pencari bakat tidak jelas karena tidak fokus sedang menjamur di Indonesia. Alasannya mungkin karena rating media massa elektronik yang menyiarkan menjadi naik serta mendapatkan pendapatan lebih. Tapi, dampak negatif dari tren ini adalah banyaknya artis karbitan atau kalau bahasa yang saya gunakan artis instan.
Artis instan ini layaknya mie instan, cepat masaknya, cepat habisnya, dan cepat pula laparnya. Mereka (Para artis instan) melewati cara yang mudah untuk menjadi bintang. Namun, hasil akhirnya mereka jadi bintang sesaat yang malah terus meredup. Walaupun memang ada beberapa yang masih bisa bertahan, tapi toh tidak terlalu mentereng seperti saat mereka memenangkan ajang pencari bakat tersebut.
Entah tradisi atau bukan, ketika acara yang dibuat khusus dewasa laku keras di mata khalayak. Media massa elektronik latah membuat yang versi anak-anak. Tradisi tersebut tak hanya di ajang pencari bakat saja, tapi juga di sinetron. Namun, perkembangan ajang pencari bakat kini sudah di dominasi bumbu-bumbu settingan konflik peserta atau juri agar semakin menarik. Mungkin karena khalayak sudah bosan hanya menyaksikan perjalanan siapa pemenang acara pencari bakat. Tapi, hal ini juga berlaku pada ajang pencari bakat untuk anak-anak.
Lagipula, ajang mencari bakat untuk anak-anak ini dinilai lebih menarik karena menampilkan kepolosan anak-anak. Saya semakin sadar ketika sebuah iklan acara pencari bakat anak-anak yang mengatakan dalam iklannya, "Mau lihat tingkah polos mereka, mau lihat kelucuan mereka, saksikan....," di sini saya langsung berpikir bahwa ini adalah eksploitasi anak-anak. Apalagi melihat ajang pencari bakat seperti itu, orang tua langsung melihat anaknya punya potensi masuk ke persaingan artis instan tersebut. Orang tua langsung berharap setinggi langit anaknya bisa seperti orang-orang yang ada di televisi. Lalu, ini pun akibat efek media massa yang menampilkan seolah-olah kehidupan menjadi bintang layar kaca itu enak. Padahal mereka yang ada di layar kaca itu penuh dengan tekanan.
Kembali pada media massa yang menampilkan acara ajang pencari bakat untuk anak-anak, mereka ingin mendulang rating dan keuntungan lainnya dari kepolosan anak-anak. Hal itu terlihat gambar yang diambil adalah gambar saat pose terlucu dan tingkah polosnya anak-anak, ekspresi anak-anak sudah di jual di sana. Belum lagi, ajang pencari bakat di stasiun televisi yang berbeda menampilkan konflik peserta dan juri menjadi iklannya. Konflik yang konyol ketika ada orang tua yang menangis dengan bacotan tidak jelas, kayaknya si memaksa ingin anaknya lolos seleksi kepada juri.
Tak hanya itu, iklan acara pencari bakat di stasiun televisi kedua yang saya bahas di sini juga menampilkan hal-hal menjijikan dengan jurinya yang bertingkah tidak jelas. Tampaknya media massa elektronik sudah bingung mau menampilkan program apa yang ratingnya tinggi. Sampai tingkah tidak jelas pun dijadikan alat untuk meraih keuntungan. Di sini, korbannya adalah anak-anak, mereka yang tidak tahu apa-apa dan mungkin dengan penjelasan singkat orang tuanya, "kalau kamu ikut kamu jadi artis," mereka pun sorak gembira ingin ikut. Padahal setelah juara pun mereka belum tentu bisa meraih hal yang dijanjikan di awal.
Anak-anak seharusnya melewati masanya dengan bermain dan berimajinasi serta belajar, kalau belajar pasti semua orang tua akan menyuruh anaknya belajar. Tapi, bermain dan berimajinasi, orang tua terkadang menyepelekan kedua hal tersebut. Padahal dua hal tersebut akan meningkat kreatifitas si anak di masa depan. Para inovator pun banyak menghasilkan karyanya dari imajinasi mereka.
Sayangnya, daripada membiarkan anak-anaknya bermain dan berimajinasi, orang tua lebih suka anak-anaknya menghasilkan uang untuk mereka dan tenar di media massa. Padahal, ketenaran di media massa bisa membuat anak-anak tertekan dengan gaya hidup bintang layar kaca. Seharusnya anak-anak dibiarkan berkreasi, bermain, berimajinasi dan peran orang tua sekedar mengontrol bukan mengarahkan.
Komentar
Posting Komentar