Para Pemburu Eksistensi II : Memburu Pengikut




Twitter , sebuah jejaring sosial yang sedang menjadi primadona masyarakat Indonesia bahkan dunia. Mungkin karena keterbatasan seratus empat puluh karakter dalam menulis sebuah post membuat twitter menjadi media sosial yang sederhana dan enak untuk dipantengin serta bagi seberapa orang juga untuk mencari tahu sifat, pemikiran seseorang dari setiap tweetnya. Lambat laun pun perkembangan twitter begitu pesat, bahkan di beberapa perusahaan dalam riwayat hidup calon pegawainya wajib mencantumkan akun Twitternya. Konon katanya, dari setiap tweet dari seseorang bisa dilihat sifat-sifatnya seperti apa.

Lambat laun, jejaring sosial berlogo burung ini semakin marak digunakan untuk menyebarkan berbagai informasi-informasi yang jarang terdapat di media konvensional. Walaupun, memang setiap informasi di jejaring sosial tersebut harus di verifikasi ulang karena kebenarannya dipertanyakan. Namun, hal ini dimanfaatkan oleh beberapa kelompok politik untuk membuat akun anonim untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Bahkan, tak hanya di ranah politik, ranah agama pun juga menjadikan jejaring sosial tersebut sebagai wahana pertarungan yang saling menjatuhkan. Walaupun memang tidak bisa diprediksi apakah benar atau tidak yang bertempur itu antar agama atau sekelompok orang yang sengaja membuat konflik masalah di dalam jejaring sosial tersebut.

Jejaring sosial yang hanya memuat karakter seratus empat puluh buah ini juga menjadi alat promosi yang tangguh untuk perusahaan besar maupun usaha kecil menengah. Portal-portal berita dalam jaringan pun berburu eksistensinya lewat jejaring sosial. Pemburu eksistensi ternyata tak hanya dari perusahaan, komunitas atau portal berita, tapi kini berkembang ke tiap individu-individu yang sering mengelana di jejaring sosial tersebut.

Eksistensi digambarkan dalam jejaring sosial ini dengan jumlah pengikut, semakin banyak jumlahnya maka tandanya semakin eksis dan banyak yang melihat tweet si pengguna jejaring dan begitu juga sebaliknya. Melihat hal ini, ada kelompok-kelompok yang menjual 'pengikut' dan banyak pula yang tertarik memaksa menambah 'pengikut'nya dalam akun jejaring sosialnya. Kalau tak salah membaca promosi dari penjual 'pengikut' tersebut harganya dari Rp10.000 - Rp100.000,- itu yang penulis lihat sendiri dari sumber yang menawarkan. Tidak tahu kalau ada yang menjual lebih mahal lagi demi 'Pengikut' di dalam jejaring sosial tersebut.

Ada yang berbayar, ternyata ada pula kelompok yang memberikan pengikut secara 'cuma-cuma'. Di sebuah situs luar negeri, ia menjual 'pengikut' dengan sistem koin kalau tidak salah, seperti layaknya permainan. Namun, melihat perkembangan penyedia layanan pemberi 'Pengikut' di seluruh dunia, menandakan bahwa manusia ingin sekali terlihat eksistensinya. Ketika jejaring sosial berlogo burung ini memberikan ruang eksistensi dengan jumlah pengikut, maka manusia biasa di seluruh dunia berburu untuk memuaskan dirinya dipandang oleh orang lain lebih.

Tapi, apa gunanya punya banyak pengikut kalau dia mengikuti bukan karena tertarik ingin menyaksikan tweet-tweet akun yang di ikutinya. Bahkan, mungkin saja akun itu juga semu, hanya sebuah topeng yang menandakan jumlah pengikut yang banyak. Kalau ingin punya banyak pengikut mungkin bisa gunakan cara seperti memberikan informasi menarik dan bermanfaat. Lalu, jejaring sosial seperti twitter itu tujuannya pun bukan untuk mendapatkan pengikut, tapi berinteraksi dengan rekan, berdiskusi atau mendapatkan informasi yang tidak didapatkan dalam media konvensional. Mungkin ada rasa iri manusia biasa pengguna jejaring sosial tersebut dengan artis dan tokoh yang mempunyai pengikut cukup banyak atau para manusia biasa ini ingin berubah menjadi tokoh dan artis dengan pengikutnya banyak tapi semu? Mungkin bagi mereka para pengejar eksistensi akan puas dengan pengikut banyak tapi semuanya itu semu.

Komentar