Prestasi Melawan Mitos

Salah seorang pemain Indonesia di homeless worldcup 2012 berfoto dengan pemain dari negara lain, nuansa persahabatan sangat lekat dalam turnamen tersebut

Bendera merah putih akhirnya dapat berkibar di tanah Meksiko Oktober 2012 kemarin. Garuda terbang tinggi sampai peringkat empat dunia dalam perhelatan akbar yaitu piala dunia. Bukan piala dunia biasa, Homeless World Cup 2012, sebuah turnamen seluruh dunia yang mempertemukan para tunawisma dari seluruh dunia dengan membawa bendera negaranya masing-masing.
Indonesia, diwakilkan oleh komunitas Rumah Cemara, sebuah komunitas yang menampung para ODHA (penderita HIV/AIDS) dan pecandu narkoba. Setelah setahun sebelumnya, di Paris mereka berhasil menduduki peringkat 6 dunia, di tahun 2012 mereka berhasil meraih posisi 4 setelah dikalahkan tuan rumah Meksiko 6-9 di Semifinal.
“Kami di sini tidak pernah memburu prestasi, kami hanya ingin tetap sehat dengan berolahraga dan dari olahraga ini pula kami bisa mengaktualisasikan diri ke masyarakat,” Ujar Bonang (27) di kantor Rumah Cemara di daerah Geger Kalong, Bandung.
Pada awalnya, para anggota Rumah Cemara hanya menjadikan sepakbola untuk senang-senang. Namun, ketika salah satu anggota mereka menemukan sebuah turnamen sepakbola yang diadakan oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) pada tahun 2008, mereka pun mencoba ikut dalam turnamen tersebut. Hasilnya, pertama kali mereka ikut turnamen itu menjadi bulan-bulanan tim lain.
Setelah turnamen tersebut, para pesepakbola dari Rumah Cemara ini tidak langsung putus asa. Memang pada awalnya mereka sama sekali tidak mengincar gelar juara dalam turnamen tersebut. Tapi, setelah menjadi bulan-bulanan di turnamen tersebut, tim sepakbola Rumah Cemara pun merasa bahwa sebuah kemenangan dalam pertandingan sepakbola mempunyai nilai kebanggaan cukup besar.
Akhirnya, mereka berlatih lebih serius untuk bisa berbicara lebih bila ada turnamen. Ditengah-tengah mereka berlatih serius, muncul sebuah pendapat dari salah seorang diantara mereka bahwa sepakbola yang rajin mereka mainkan tersebut bisa menjadi alat aktualisasi diri dan sosialisasi diri mereka untuk mengurangi diskriminasi.
“Jadi, kami mengajak latih tanding dari SSB, Tim Sepakbola Kampus, dan sebagainya, setelah selesai bertanding, kami makan-makan dengan mereka dan menceritakan bahwa kami adalah ODHA, mereka yang jadi lawan kami pun kaget dan mempertanyakan berbagai hal seperti bila bersentuhan dengan kami apakah akan menularkan virus HIV/AIDS, di sanalah saatnya kami menjelaskan semuanya tentang HIV/AIDS agar mereka tidak mendiskriminasi kami,” Lanjut Bonang sambil menghisap rokok keduanya saat diwawancarai.
Setelah tim sepakbola Rumah Cemara menuturkan bahwa mereka semua adalah ODHA kepada lawan latih tandingnya. Mereka mencoba mengajak lagi si lawan yang sudah tahu bahwa mereka ODHA untuk latih tanding. Menurut Bonang, hal tersebut dilakukan untuk melihat bagaimana reaksinya setelah mengetahui mereka ODHA dan juga sudah diberi penjelasan lebih dalam tentang HIV/AIDS. Bonang menuturkan bahwa 90% tim lawan tanding tak takut melakukan tanding ulang setelah mereka tahu bahwa tim Rumah Cemara adalah ODHA.
Kemudian, tim sepakbola ini mencoba perhelatan ke luar negeri. Tim Sepakbola Rumah Cemara ini mencoba mengadu kemampuan di Homeless World Cup 2010 di Brazil. Namun, tim yang mewakilkan Indonesia ini urung tampil di ajang terbesar bagi kaum minoritas tersebut. Akhirnya, pada 2011, mereka berhasil terbang ke Paris dan meraih posisi keenam dunia. Kemudian, 2012 kemarin, mereka berhasil meningkatkan prestasi ke posisi 4 dunia.
Pendanaan tim sepakbola Rumah Cemara yang merepresentasikan sebagai timnas Indonesia di Homeless World Cup ini hanya diberikan 30% saja dari pemerintah dari kebutuhan keseluruhan mereka selama turnamen di 2012. Sisanya, mereka pun mencari donasi sendiri dengan mengadakan pertandingan sepakbola jalanan di daerah Balubur, Bandung.

 Tekanan dan Diskriminasi
Diskriminasi pada ODHA merupakan salah satu tekanan terbesar bagi mereka (Para ODHA). Menurut Bonang, salah satu staff Rumah Cemara mengatakan bahwa diskriminasi pada ODHA terjadi karena dua faktor yaitu, stigma negatif masyarakat dan ODHA sengaja mengisolasi dirinya.
Bonang pun melanjutkan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan para ODHA yang sengaja mengisolasi dirnya itu bisa diselesaikan dengan cara melatih Soft Skill mereka. Pelatihan tersebut akan menghasilkan skill yang bisa membuat rasa percaya diri para ODHA ini meningkat. Sehingga, tidak minder bila melakukan aktifitas di ruang publik.
Masalahnya adalah stigma negatif masyarakat umum tentang virus HIV/AIDS yang sudah meluas dan mendarah daging. Dampaknya pun luas, para ODHA ini sulit mendapatkan pekerjaan karena mitos-mitos yang berkembang tentang virus  tersebut. Sehingga, hal tersebut pula yang menjatuhkan rasa percaya diri para ODHA ini.
Stigma negatif dari masyarakat tentang HIV/AIDS tak hanya berdampak dengan sulitnya para ODHA mencari kerja. Bahkan keluarga pun banyak yang mengasingkan mereka, Bonang mengisahkan bahwa ada di Bogor, keluarganya mengusir si penderita. Padahal, keluarganya tersebut terhitung keluarga mapan yang bisa mengurusi kebutuhan pengobatan si penderita.
Cerita lebih miris lagi datang dari Kalimantan, saat itu ada warga pulau yang mempunyai nama lain Borneo tersebut melahirkan seorang anak yang positif menderita HIV/AIDS. Tokoh-tokoh sekitar daerah tersebut menganggap anak itu terkena kutukan dan akhirnya ia diisolasi di bawah rumah panggung keluarganya. Sampai akhirnya ia menjadi tontonan warga sekitar seperti mutant yang tiba-tiba hadir ke lingkungan mereka.
“HIV/AIDS bukanlah penyakit kutukan, penularannya pun tidak semudah bersentuhan atau sekedar bertatap muka, proses penularannya hanya bisa terjadi lewat darah dan tindakan-tindakan seksual menyimpang serta penggunaan jarum suntik bergantian,” Ujar Panca dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Jawa Barat dalam seminar Orientasi Pembekalan Pengetahuan tentang HIV/AIDS bagi Mahasiswa di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada 17 Desember 2012.
            Para penderita HIV/AIDS pun tidak mempunyai perawakan berbeda dengan orang yang sehat. Walaupun banyak stigma di masyarakat mengatakan bahwa penderita HIV/AIDS itu kurus, matanya cekung dan sebagainya. Karena banyak stigma negatif yang tidak benar tersebut KPA Jawa Barat melakukan sosialisasi, tujuan agar membantu mengurangi diskriminasi terhadap para ODHA.
Stigma negatif yang cukup mencolok serta mempengaruhi kehidupan para ODHA adalah sebutan ‘tidak produktif’ kepada para penderita tersebut. Padahal, di Rumah Cemara sendiri ada salah satu anggota komunitasnya yang sukses menjadi pengusaha, walaupun masih tingkat usaha kecil menengah. Mitos-mitos yang tidak benar itu menyumbang tekanan terhadap para ODHA dalam mempertahankan hidupnya.
“Ketika banyak yang memberikan stigma bahwa para ODHA itu tidak produktif bisa kami bantah dengan prestasi-prestasi yang ditunjukkan para anggota Rumah Cemara dari olahraga sampai wirausaha,” ujar Bonang. ***

Komentar