Salah seorang pemain Indonesia di homeless worldcup 2012 berfoto dengan pemain dari negara lain, nuansa persahabatan sangat lekat dalam turnamen tersebut |
Indonesia, diwakilkan
oleh komunitas Rumah Cemara, sebuah komunitas yang menampung para ODHA
(penderita HIV/AIDS) dan pecandu narkoba. Setelah setahun sebelumnya, di Paris
mereka berhasil menduduki peringkat 6 dunia, di tahun 2012 mereka berhasil
meraih posisi 4 setelah dikalahkan tuan rumah Meksiko 6-9 di Semifinal.
“Kami di sini tidak pernah memburu
prestasi, kami hanya ingin tetap sehat dengan berolahraga dan dari olahraga ini
pula kami bisa mengaktualisasikan diri ke masyarakat,” Ujar Bonang (27) di
kantor Rumah Cemara di daerah Geger Kalong, Bandung.
Pada awalnya, para
anggota Rumah Cemara hanya menjadikan sepakbola untuk senang-senang. Namun,
ketika salah satu anggota mereka menemukan sebuah turnamen sepakbola yang
diadakan oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) pada tahun 2008, mereka pun
mencoba ikut dalam turnamen tersebut. Hasilnya, pertama kali mereka ikut
turnamen itu menjadi bulan-bulanan tim lain.
Setelah turnamen
tersebut, para pesepakbola dari Rumah Cemara ini tidak langsung putus asa.
Memang pada awalnya mereka sama sekali tidak mengincar gelar juara dalam
turnamen tersebut. Tapi, setelah menjadi bulan-bulanan di turnamen tersebut,
tim sepakbola Rumah Cemara pun merasa bahwa sebuah kemenangan dalam
pertandingan sepakbola mempunyai nilai kebanggaan cukup besar.
Akhirnya, mereka berlatih
lebih serius untuk bisa berbicara lebih bila ada turnamen. Ditengah-tengah
mereka berlatih serius, muncul sebuah pendapat dari salah seorang diantara
mereka bahwa sepakbola yang rajin mereka mainkan tersebut bisa menjadi alat
aktualisasi diri dan sosialisasi diri mereka untuk mengurangi diskriminasi.
“Jadi, kami mengajak latih tanding
dari SSB, Tim Sepakbola Kampus, dan sebagainya, setelah selesai bertanding,
kami makan-makan dengan mereka dan menceritakan bahwa kami adalah ODHA, mereka
yang jadi lawan kami pun kaget dan mempertanyakan berbagai hal seperti bila
bersentuhan dengan kami apakah akan menularkan virus HIV/AIDS, di sanalah
saatnya kami menjelaskan semuanya tentang HIV/AIDS agar mereka tidak
mendiskriminasi kami,” Lanjut Bonang sambil menghisap rokok keduanya saat
diwawancarai.
Setelah tim sepakbola
Rumah Cemara menuturkan bahwa mereka semua adalah ODHA kepada lawan latih
tandingnya. Mereka mencoba mengajak lagi si lawan yang sudah tahu bahwa mereka
ODHA untuk latih tanding. Menurut Bonang, hal tersebut dilakukan untuk melihat
bagaimana reaksinya setelah mengetahui mereka ODHA dan juga sudah diberi
penjelasan lebih dalam tentang HIV/AIDS. Bonang menuturkan bahwa 90% tim lawan
tanding tak takut melakukan tanding ulang setelah mereka tahu bahwa tim Rumah
Cemara adalah ODHA.
Kemudian, tim sepakbola
ini mencoba perhelatan ke luar negeri. Tim Sepakbola Rumah Cemara ini mencoba
mengadu kemampuan di Homeless World Cup 2010
di Brazil. Namun, tim yang mewakilkan Indonesia ini urung tampil di ajang
terbesar bagi kaum minoritas tersebut. Akhirnya, pada 2011, mereka berhasil
terbang ke Paris dan meraih posisi keenam dunia. Kemudian, 2012 kemarin, mereka
berhasil meningkatkan prestasi ke posisi 4 dunia.
Pendanaan tim sepakbola
Rumah Cemara yang merepresentasikan sebagai timnas Indonesia di Homeless World Cup ini hanya diberikan
30% saja dari pemerintah dari kebutuhan keseluruhan mereka selama turnamen di
2012. Sisanya, mereka pun mencari donasi sendiri dengan mengadakan pertandingan
sepakbola jalanan di daerah Balubur, Bandung.
Tekanan dan Diskriminasi
Diskriminasi pada ODHA merupakan
salah satu tekanan terbesar bagi mereka (Para ODHA). Menurut Bonang, salah satu
staff Rumah Cemara mengatakan bahwa diskriminasi pada ODHA terjadi karena dua
faktor yaitu, stigma negatif masyarakat dan ODHA sengaja mengisolasi dirinya.
Bonang pun melanjutkan
bahwa untuk menyelesaikan permasalahan para ODHA yang sengaja mengisolasi
dirnya itu bisa diselesaikan dengan cara melatih Soft Skill mereka. Pelatihan tersebut akan menghasilkan skill yang bisa membuat rasa percaya
diri para ODHA ini meningkat. Sehingga, tidak minder bila melakukan aktifitas di ruang publik.
Masalahnya adalah stigma
negatif masyarakat umum tentang virus HIV/AIDS yang sudah meluas dan mendarah
daging. Dampaknya pun luas, para ODHA ini sulit mendapatkan pekerjaan karena
mitos-mitos yang berkembang tentang virus
tersebut. Sehingga, hal tersebut pula yang menjatuhkan rasa percaya diri
para ODHA ini.
Stigma negatif dari
masyarakat tentang HIV/AIDS tak hanya berdampak dengan sulitnya para ODHA
mencari kerja. Bahkan keluarga pun banyak yang mengasingkan mereka, Bonang
mengisahkan bahwa ada di Bogor, keluarganya mengusir si penderita. Padahal,
keluarganya tersebut terhitung keluarga mapan yang bisa mengurusi kebutuhan
pengobatan si penderita.
Cerita lebih miris lagi
datang dari Kalimantan, saat itu ada warga pulau yang mempunyai nama lain
Borneo tersebut melahirkan seorang anak yang positif menderita HIV/AIDS.
Tokoh-tokoh sekitar daerah tersebut menganggap anak itu terkena kutukan dan
akhirnya ia diisolasi di bawah rumah panggung keluarganya. Sampai akhirnya ia
menjadi tontonan warga sekitar seperti mutant
yang tiba-tiba hadir ke lingkungan mereka.
“HIV/AIDS bukanlah penyakit kutukan,
penularannya pun tidak semudah bersentuhan atau sekedar bertatap muka, proses
penularannya hanya bisa terjadi lewat darah dan tindakan-tindakan seksual
menyimpang serta penggunaan jarum suntik bergantian,” Ujar Panca dari Komisi
Penanggulangan Aids (KPA) Jawa Barat dalam seminar Orientasi Pembekalan
Pengetahuan tentang HIV/AIDS bagi Mahasiswa di Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Padjadjaran pada 17 Desember 2012.
Para
penderita HIV/AIDS pun tidak mempunyai perawakan berbeda dengan orang yang
sehat. Walaupun banyak stigma di masyarakat mengatakan bahwa penderita HIV/AIDS
itu kurus, matanya cekung dan sebagainya. Karena banyak stigma negatif yang
tidak benar tersebut KPA Jawa Barat melakukan sosialisasi, tujuan agar membantu
mengurangi diskriminasi terhadap para ODHA.
Stigma negatif yang cukup
mencolok serta mempengaruhi kehidupan para ODHA adalah sebutan ‘tidak
produktif’ kepada para penderita tersebut. Padahal, di Rumah Cemara sendiri ada
salah satu anggota komunitasnya yang sukses menjadi pengusaha, walaupun masih
tingkat usaha kecil menengah. Mitos-mitos yang tidak benar itu menyumbang
tekanan terhadap para ODHA dalam mempertahankan hidupnya.
“Ketika banyak yang memberikan stigma
bahwa para ODHA itu tidak produktif bisa kami bantah dengan prestasi-prestasi
yang ditunjukkan para anggota Rumah Cemara dari olahraga sampai wirausaha,”
ujar Bonang. ***
Komentar
Posting Komentar