KPKK, Si Musuh Mahasiswa yang Korupsi


Rizal Mallarangeng, adik dari mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Andi Mallarangeng menuding Direktur I PT. Adhi Karya Tbk. Teuku Bagus melakukan penggelumbungan dana (Mark Up) untuk mendapatkan dana besar dari Kemenpora. Kemudian, presiden Indonesia, SBY mengatakan bahwa banyak orang yang melakukan korupsi karena mereka tidak tahu. Lalu, apakah semua pelaku korupsi di Indonesia selama ini karena mereka tidak tahu atau memang sudah menjadi kebiasaan sejak masa mudanya?

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memang sudah membuat banyak pejabat dan pengusaha yang melakukan korupsi terjerat di hotel prodeo. Bahkan, di akhir tahun kemarin, seorang menteri dijadikan tersangka sebuah kasus hingga adik tersangka kalang kabut membela abangnya. Dalam majalah Tempo edisi 31 Desember 2012 - 6 Januari 2013 menuliskan bahwa KPK sudah melakukan 480 Kasus sampai tahap penyeledikan, 278 kasus sampai tahap penyidikan dan 222 kasus sampai tahap vonis. Jumlah yang cukup bisa diacungi jempol dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun bisa membantai para tikus-tikus tersebut dengan berbagai hadangan yang dilakukan para tikus tersebut kepada lembaga independen pemberantasan korupsi ini.

Namun, KPK yang berjuang memberantas korupsi ini akan kelelahan, karena yang mereka bantai itu adalah pelaku koruptor yang sudah berbunga. Padahal, banyak pelaku koruptor di tingkat akar yaitu ditingkat pendidikan. Walaupun yang sudah berbunga dibantai, maka akan terjadi regenerasi dari akar yaitu di dunia pendidikan. Dunia pendidikan indonesia sudah membiasakan diri melakukan hal yang bisa disebut korupsi. Termasuk penggelembungan dana untuk kegiatan mahasiswa, memang para mahasiswa mempunyai alasan untuk melakukan hal tersebut. karena pihak dekanat atau rektorat tidak akan memberikan jumlah dana yang tertulis di proposal, makanya mereka (mahasiswa) berburu dana lebih besar ke dekanat atau rektorat dengan melakukan penggelembungan dana.

Untuk masalah ini, seharusnya dari pihak dekanat dan rektorat memberikan transparansi dana ke mahasiswa, berapa jumlah dana yang dianggarkan untuk kegiatan mahasiswa selama setahun. Sehingga alasannya jelas bila pihak dekanat dan rektorat memberikan dana yang tidak sesuai di proposal. Sayangnya dari pihak dekanat dan rektorat (terutama kampus saya) menganggap transparansi adalah hal yang tabu dan bisa menjadi masalah bagi mereka. Buktinya ketika diminta transparansi dana pihak rektorat menyuruh ke BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) saja. Mungkin mereka masih berbudaya ortodoks dan romantisme masa orde baru. Sehingga mahasiswa yang bayar kuliah tidak boleh melihat laporang keuangan dari pihak rektorat.

Kemudian, mahasiswa juga harus sadar bahwa dalam setiap kegiatannya, dana dari rektorat maupun dekanat itu seperti subsidi jadi lebih baik dominan kegiatan pakai uang yang mencari sendiri. Itupun bila para mahasiswa sudah diberi trasnparansi keuangan rektorat dan dekanat apakah benar-benar alokasi pendanaan untuk kegiatan mahasiswa benar-benar amat terbatas. Bila, benar-benar terbatas berarti sisa alokasi dana dari pihak rektorat dan dekanat bisa terlihat dari segi pelayanan dan fasilitas. Kalau pendanaan untuk kegiatan mahasiswa minim dan segi pekayanan dan fasilitas pun juga 'Payah' berarti perlu dipertanyakan kelakuan dari manusia-manusia di rektorat dan dekanat.

Belum lagi, banyak mahasiswa yang menggunakan dana kegiatan mahasiswa dari dekanat atau rektorat bukan untuk kegiatan malah untuk foya-foya atau mabuk-mabukkan. Hal seperti inilah yang melahirkan budaya korupsi di masa depan. Harusnya, uang subsidi dari dekanat atau rektorat bila berlebih dikembalikan lagi kepada dekanat atau rektorat agar bisa mengakomodir kebutuhan kegiatan mahasiswa lainnya lagi. Namun, sekali lagi, hal tersebut bisa dilakukan bila dekanat dan rektorat sudah melakukan transparansi dana secara rutin ke mahasiswa.

Kemudian, lembaga tinggi mahasiswa pun tidak luput dari sorotan. Lembaga tinggi mahasiswa tingkat universitas kampus saya (sebuah kampus di Jatinangor) mempunyai laporan keuangan yang dipertanyakan, namun sampai detik ini belum sempat untuk menanyakannya ke pihak terkait. Setiap lembaga tinggi ini melakukan 'aksi' ke Jakarta pasti ada sodoran dana dalam jumlah besar dengan 'embel-embel' donasi dari alumni. Ada kemungkinan dana tersebut berasal dari kelompok tertentu, dan mereka yang melakukan 'aksi' berdasarkan kepentingan kelompok tersebut. Ini pun bisa dibilang terjadi penyelewangan di dalamnya, mahasiswa mendapatkan uang untuk melakukan aksi demi kelompok-kelompok tertentu. Walaupun masih hipotesis, hal ini masih bisa ditelusuri lebih lanjut untuk mengetahui asalnya dana jumlah besar tersebut.

Setiap akan melakukan perjalanan ke Jakarta (untuk melakukan 'aksi' tampaknya) ada beberapa pemasukan dana ke lembaga tinggi mahasiswa sebuah kampus di Jatinangor dalam jumlah yang cukup besar.


Untuk itu, agar korupsi yang terjadi di dunia pendidikan, mau itu di pendidikan dasar sampai tinggi, mau itu mahasiswa maupun dosen, rektor, guru atau kepala sekolah tidak berkembang menjadi koruptor yang berbunga dan ditebas KPK di masa depan. Maka, penulis memikirkan seharusnya ada lembaga pemberantasan korupsi di daerah pendidikan dari dasar sampai tinggi. Penulis hanya terpikirkan di kalangan pendidikan tinggi harusnya ada Komisi Pemberantasan Korupsi Kampus (KPKK). Nantinya tugas KPKK ini membantai segala kasus korupsi yang terjadi di kampus dan memberi hukuman pidana kepada para pelakunya. Mahasiswa yang tebrukti pun akan diberikan hukuman pidana dan masuk bui bila terbukti bersalah. Hal itu akan membuat rasa jera sejak dini bila melakukan korupsi.

Lalu, penulis punya ide untuk para pelaku koruptor dari segala golongan ( golongan muda, tua, kelas atas, bawah, mahasiswa, pejabat), bagi mereka yang terbukti menjadi pelaku koruptor, e-KTPnya di lubangi pinggirnya untuk membuktikan bahwa mereka adalah bekas pelaku koruptor. Lalu, pelubangan pinggir e-KTP si para pelaku koruptor itu nantinya akan berfungsi untuk menyulitkan mereka dalam menggunakan fasilitas negara dan mencari pekerjaan. Sehingga hukuman bagi para pelaku koruptor itu bisa terus berlanjut hingga si pelaku mati.

Namun, hal ini harus diiringi dengan petugas di pengadilan dan pihak kepolisian yang juga bersih. Karena itu, bagi pihak pengadilan dan kepolisian yang tertangkap tangan membantu para pelaku korupsi akan ditetapkan pula sebagai pelaku korupsi dan mendapatkan hukuman yang sama dengan si pelaku korupsi. Tapi, apakah hal ini bisa berjalan di negeri yang sudah penuh dengan penyimpangan dan kebenaran 'semu' ini? mungkin bisa, walau agak ribet, tapi bila benar bisa dilakukan, semua ini bisa menghabisi tumbuhan yang sudah mengakar sejak lama di Indonesia hingga akar-akarnya. ***


Komentar

  1. "Belum lagi, banyak mahasiswa yang menggunakan dana kegiatan mahasiswa dari dekanat atau rektorat bukan untuk kegiatan malah untuk foya-foya atau mabuk-mabukkan." -----> ada datanya? banyak mahasiswa? siapa saja? kan kasian yg udh jujur mahasiswa yg emg buat kegiatan kmahasiswaan :)

    Ada kemungkinan dana tersebut berasal dari kelompok tertentu, dan mereka yang melakukan 'aksi' berdasarkan kepentingan kelompok tersebut. Ini pun bisa dibilang terjadi penyelewangan di dalamnya, mahasiswa mendapatkan uang untuk melakukan aksi demi kelompok-kelompok tertentu. ---> akan lebih bijak kalo ada datanya biar jadi ga fitnah :D

    semangatnya saya acungi jempol tp modal spekulasi saja belum cukup. cheers

    BalasHapus

Posting Komentar