Gurbenur Jakarta yan baru terpilih beberapa waktu lalu sudah memimpin ibukota sekitar tiga bulan. Namun, di Indonesia ada budaya atau lebih disebut kebiasaan untuk melihat kinerja dari seratus hari. Gurbenur Jakarta yang sudah mencapai seratus hari kerjanya itu banyak yang menilai belum mengerjakan apa-apa. Bahkan, ada sebuah berita yang membuat hipotesis bahwa tiket elekteronik untuk transjakarta dibuat untuk memperlihatkan kinerja Jokowi. Apakah saat seratus hari kerja seorang pemimpin harus diam di kantor dan tidak membuat kebijakan apapun agar tidak dikira membuat program mengejar seratus hari?
Fenomena yang lucu memang, seorang pemimpin yang menjabat selama lima tahun hanya dinilai dari seratus hari. Seratus, jumlah yang besar memang, tapi seratus hari itu adalah waktu yang singkat. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, seorang pemimpin takkan membuat kemajuan yang signifikan. Mungkin, bila pemimpinnya adalah dewa yang bisa mengubah semuanya dalam sekejap bisa mengabulkan semua keinginan.
Bila, kebiasaan ini terus dilanjutkan, maka para pemimpin-pemimpin selanjutnya yang membutuhkan citra baik di masyarakat akan bekerja hanya untuk seratus harinya. Setelah seratus hari, si pemimpin bisa jadi hanya akan bersenda gurau, karena targetnya hanya seratus hari.
Entah, di mulai dari era apa, atau budaya siapa melihat kinerja pemimpin hanya dari seratus hari. Tapi, media massa pun ikut andil mengembangkan budaya seratus hari ini. Gembar-gembor media massa yang membuat seolah pemimpin yang benar adalah pemimpin yang selama seratus hari sudah melakukan banyak hal untuk warganya.
Lanjut dampak negatifnya lagi, para pemimpin banyak yang hanya melakukan proyek jangka pendek. Faktanya sangat terlihat di Indonesia, semua program hanya mempunya dampak jangka pendek. Di masa selanjutnya program itu seperti sudah usang. Bahkan menghilang seketika sampai warga pun tak ada yang tahu program itu pernah ada. Coba kita tilik kembali, siapa diantara warga di Indonesia yang ingat proyek seratus hari pemimpin-pemimpin daerah atau negara? kalau ada lihat lagi juga berjalan seperti apa program yang dibuat untuk sekedar memberi warna di kepemimpinan selama seratus hari? Tertawa dan miris di hati sebenarnya melihat kebiasaan melihat seratus hari ini. Bagaimana mau maju bila pemimpinnya dikejar untuk mencitrakan diri menuju seratus hari awal kepemimpinannya?
Itulah Indonesia, sebuah negeri yang banyak mengundang kelucuan. Tak salah bila stand up comedy berkembang cukup pesat di negeri ini. Soalnya, seluruh warganya adalah pelawak. Dari tingkat eksekutif sampai rakyat jelata, semuanya pintar melawak walaupun ada beberapa yang garing. Salah satu contoh lawakan terkini yang bisa menghilangkan penat adalah perseteruan lembaga tinggi sepakbola Indonesia di dunia maya. Fakta-fakta yang ditampilkan sedikit diubah untuk membaguskan citra kelompok-kelompok tertentu yang bilamana tahu faktanya maka akan terbahak-bahak membacanya, itu hanya salah satu contoh.
Beberapa tahun lalu ada sebuah film yang berjudul, "Alangkah Lucunya Negeri Ini" ternyata judul film itu memang benar. Negeri Ini Memang Lucu!
Komentar
Posting Komentar