Menuju Pembangunan Ramah Lingkungan atau Ramah Keuntungan??



"Bumi kita semakin panas jeng...jeng...jeng!!" itu seperti sebuah lirik lagu  kelompok musik di awal 2000-an. Tapi, kondisinya memang bumi semakin mengkhawatirkan, karena eksploitasi negara-negara maju sejak jaman dulu untuk pembangunan. Ketika negara berkembang mulai pembangunan, malah lahir berbagai kebijakan-kebijakan internasional yang menyulitkan pembangunan negara berkembang, lucunya kebijakan itu lahir dari negara-negara maju dan di dalam kebijakan ini seperti tersirat politisasi agar negara berkembang tidak bisa semakin maju. Walaupun pada faktanya memang bumi ini semakin parah kondisi lingkungannya.

Sejak tahun 1992, pada pertemuan konferensi menuju pembangunan berkelanjutan di Rio de Janiero, Brazil, akhirnya para negara-negara yang melakukan konferensi saat itu menentukan untuk memulai agenda 21 demi menyelematkan kondisi lingkungan bumi yang parah akibat eksploitasi pembangunan (re : oleh negara maju). Sebenarnya langkah membuat pertemuan di ibu kota Brazil pada tahun 1992 ini sudah dimulai pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia. Pertemuan yang dihadiri oleh 113 negara tersebut dinilai menjadi pertemuan pertama di dunia yang membahas masalah lingkungan secara global.

Lalu, hasil dari pertemuan di Rio de Janiero sendiri merupakan sebuah wujud dokumen tenntang lingkungan dan pembangunan dengan 27 asas yang menetapkan tanggung jawab bangsa-bangsa dalam memperjuangkan perkembangan dan kesejahteraan manusia serta prinsi-prinsip kehutanan yang menjadi pedoman untuk pembangunan berkelanjutan dari sumber daya hutan. Setiap negara dan kota di dunia pun diminta membuat agenda 21 yang sesuai dengan kondisi negara tapi tetap berdasarkan asas-asas dipertemuan ibukota Brazil tersebut.

Namun, setelah melewati pertemuan-pertemuan lain di berbagai negara yang membahas tentang pembangunan hijau berkelanjutan, semakin lama semua rencana jadi terlihat mandul. puncaknya, pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB yang dikenal juga dengan Rio+20 pada 20-22 Juni 2012 kemarin. Negara-negara yang tergabung dalam konferensi tersebut kini sudah tidak menaruh perhatian lebih terhadap rencana pembangunan hijau berkelanjutan tersebut.

Awal dari mandulnya pembahasan mengenai pembangunan berkelanjutan untuk masa depan ini ketika pertemuan Puncak Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan  yang melahirkan Plan of Implementation sebagai penegasan komitmen pada agenda 21 sebelumnya. Namun, ketika melahirkan Plan of Impletation ini terjadi perdebatan yang berbau unsur politik. Banyak permasalahan yang di bahas akibat poin-poin dari Plan of Impletation tersebut yang semua perdebatan berujung pada berburu nilai guna dari perwakilan masing-masing. Akhirnya, komitmen pembangunan berkelanjutan untuk masa depan berevolusi menjadi ekonomi hijau yang berarti memberikan nilai jual untuk produk ekonomi yang dikatakanyya berbau ramah lingkungan.

Faktanya, pertemuan-pertemuan yang sering dilakukan oleh beberapa negara sampai menciptakan beberapa komitmen seperti agenda 21 malah menjadikan perkembangan penyelematan lingkungan jalan ditempat. Komitmennya bagaikan pepesan kosong, malah kondisi lingkungan bumi semakin parah dari hari ke hari. Sebuah data dari buku Demi Bumi Demi Kita : dari Pembangunan Berkelanjutan Menuju Ekonomi Hijau  menuliskan bahwa dari tahun 1992 sampai 2009 emisi  Gas Rumah Kaca (GRK) malah meningkat 40% dan emisi Co2 meningkat 38% di tahun 2010. Lalu, peningkatan emisi tersebut dalam buku tersebut disebut bahwa peran negara maju dan industri yang membantu pencemaran lingkungan di bumi dibandingkan negara berkembang.

Komentar