gerah, matahari terik, tapi aura mendung sudah mulai terasa. Jam tangan menunjukkan pukul 12 siang, kalau di buku sekolah dasar memaknai jam segitu ialah saat matahari tepat dikepalaku. Apalagi berada di jalan utama ibukota dengan berjalan kaki tanpa topi dan rambut tipis. Rasa-rasanya panas merusuk ke ubun-ubun kalau kata orang tua dulu.
'Jalur Pedestrian' tulisan yang sok keren untuk nama jalur pejalan kaki. Ya, negeri ini amat mengagungkan sekali bahasa asing terutama inggris, sampai bahasa Indonesia sulit dikenali.
Aku, Manusia konyol yang hidup di negara berkembang, benua Asia dan jalur khatulistiwa. Niatnya sih, merenggangkan waktu luang yang masih tersisa amat banyak dengan berkeliling. Tapi, acara berkelilingku berubah menjadi kesal ke ubun-ubun, kayak panas matahari yang mulai bercampur mendung.
Berjalan cukup jauh, sekitar sepuluh kilo meter di jalan utama ibukota, pengen berasa kayak wisatawan asing yang suka berjalan kaki di trotoar rusak ibukota sambil membawa botol minuman satu setengah liter berbagai merek. Tapi, sayang, tak tertarik aku membawa botol minum satu setengah liter. Kubawa saja botol minum ukurang 800 mili yang ada pola bunga-bunganya. Terlihat lucu kata si mama, tapi terlihat menjijikan kata aku. Yasudah, yang penting dia senang.
Kembali ke trotoar rusak ibu kota, warnanya merah, ada variasi keramik kuning dan juga batu berwarna abu-abu. Dari segi keamanan, seharusnya aman karena luas trotoar cukup besar. Apalagi, sebenarnya rindang pula sekitar jalanan karena pepohonan besar yang mendampingi jalanan besar ini.
Indah sekali yang kudeskriptifkan itu, tapi ternyata, penjelasanku tak hanya sampai di situ. Berhubung ini negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat amat terlalu banyak. Sehingga, cukup sulit merawat fasilitas kota, karena mereka semua punya berbagai sikap yang bisa destruktif bisa konstruktif.
Lagi-lagi negara berkembang kujadikan alasan ketika ada sepeda motor yang melintas di trotoar, bisa beralasan karena jalanan macet hingga tak bisa lagi melewati jalan yang semakin sempit karena padat dengan kendaraan umum dan pribadi.
Selanjutnya negara berkembang kembali kujadikan alasan karena pedagang kaki lima memenuhi ruang di trotoar yang akhirnya pejalan kaki jalan di jalan untuk kendaraan dan berujung menambah kemacetan. Mungkin, para pedagang kaki lima tersebut melihat peluang bisnis yang bisa merubah hidup mereka dan juga menunjang kebutuhan pejalan kaki yang lelah dengan cuaca panas ibukota akibat bejubelnya kendaraan pribadi.
Kemudian negara berkembang kembali kujadikan alasan karena sudah ada jembatan penyebrangan malah tetep nekat nyebrang di jalur cepat. Kalau ketabrak bus transjakarta (alat transportasi yang lagi heboh sebelum hadirnya MRT sebentar lagi), yang disalahin supir busnya bukan si penyebrangnya. Tapi, mungkin itu karena lagi dikejar setoran atau sibuk sekali sehingga waktu semenit sampai lima menit untuk menaiki tangga penyebrangan pun tak ia punya.
Sekali lagi negara berkembang kujadikan alasan, sudah ada tombol untuk membuat lampu lalulintas memberhintakan kendaraan yang melaju dan memberikan kesempatan menyebrang bagi pejalan kaki, malah dia tetap nekat menyebrang di kala lampu lalulintas masih berwarna hijau. Mungkin karena pendidikan rendah, jadi tidak mengerti bahwa tombol itu untuk membuat kendaraan yang melaju berhenti sejenak, walaupun yang aku liat orang menyebrang secara liar itu memakai jas sih, tapi itu tak juga bisa jadi patokan. Terlalu banyak nepotisme di negeri ini.
Terakhir dari celotehku malam ini, ada hal lucu mengenai pengendara motor yang menjajah para pejalan kaki. Setelah sampai di stadion deket stadion kebanggaan ibukota, jalan untuk kendaraan pun macet sekali yang dijejali kendaraan pribadi. Motor-motor yang merasa lebih mudah bergerak ke tempat sempit berusaha menerobos kemacetan dengan lewat trotoar rusak yang cukup luas.
Lalu, aku pun nekat jalan di tengah trotoar yang menghalangi para 'cecungguk bermotor' itu untuk melaju di trotoar rusak. Namun, bukannya menghindari aku, mereka malah nekat ingin menabrak sambil berceloteh ketus karena tidak memberi mereka jalan. Aku pun hanya membalas senyuman besar yang cukup menyebalkan. Mereka pun tidak tahu memberikan respon apa, karena langsung saja melanjutkan laju motornya setelah melewati hadanganku.
Trotoar yang rusak pun semakin rusak karena ulah si cecunguk bermotor itu. Ya alasan saya melihat fenomena tersebut karena ini negara berkembang.
Pemerintah daerah dan pusat pun seperti gemetar dengan perusahaan asing yang produksi kendaraan buat membatasi kendaraan di ibukota terutama. Walaupun aku seperti hanya tukang fitnah yang mengatakan ada permainan antara perusahaan produksi kendaraan asal eropa, negeri gingseng dan sakura, tapi ya pembatasan kendaraan itu penting karena jumlah manusia di negara berkembang ini terus bertambah yang akan seiring pula dengan pertambahan kendaraan pribadi. Semoga saja semakin ke sini, pemimpin semakin tidak bodoh.
'Jalur Pedestrian' tulisan yang sok keren untuk nama jalur pejalan kaki. Ya, negeri ini amat mengagungkan sekali bahasa asing terutama inggris, sampai bahasa Indonesia sulit dikenali.
Aku, Manusia konyol yang hidup di negara berkembang, benua Asia dan jalur khatulistiwa. Niatnya sih, merenggangkan waktu luang yang masih tersisa amat banyak dengan berkeliling. Tapi, acara berkelilingku berubah menjadi kesal ke ubun-ubun, kayak panas matahari yang mulai bercampur mendung.
Berjalan cukup jauh, sekitar sepuluh kilo meter di jalan utama ibukota, pengen berasa kayak wisatawan asing yang suka berjalan kaki di trotoar rusak ibukota sambil membawa botol minuman satu setengah liter berbagai merek. Tapi, sayang, tak tertarik aku membawa botol minum satu setengah liter. Kubawa saja botol minum ukurang 800 mili yang ada pola bunga-bunganya. Terlihat lucu kata si mama, tapi terlihat menjijikan kata aku. Yasudah, yang penting dia senang.
Foto : Metrotvnews.com |
Kembali ke trotoar rusak ibu kota, warnanya merah, ada variasi keramik kuning dan juga batu berwarna abu-abu. Dari segi keamanan, seharusnya aman karena luas trotoar cukup besar. Apalagi, sebenarnya rindang pula sekitar jalanan karena pepohonan besar yang mendampingi jalanan besar ini.
Indah sekali yang kudeskriptifkan itu, tapi ternyata, penjelasanku tak hanya sampai di situ. Berhubung ini negara berkembang yang jumlah penduduknya sangat amat terlalu banyak. Sehingga, cukup sulit merawat fasilitas kota, karena mereka semua punya berbagai sikap yang bisa destruktif bisa konstruktif.
Foto : Tempo.co |
Lagi-lagi negara berkembang kujadikan alasan ketika ada sepeda motor yang melintas di trotoar, bisa beralasan karena jalanan macet hingga tak bisa lagi melewati jalan yang semakin sempit karena padat dengan kendaraan umum dan pribadi.
Selanjutnya negara berkembang kembali kujadikan alasan karena pedagang kaki lima memenuhi ruang di trotoar yang akhirnya pejalan kaki jalan di jalan untuk kendaraan dan berujung menambah kemacetan. Mungkin, para pedagang kaki lima tersebut melihat peluang bisnis yang bisa merubah hidup mereka dan juga menunjang kebutuhan pejalan kaki yang lelah dengan cuaca panas ibukota akibat bejubelnya kendaraan pribadi.
sumber : yustisi.com |
Sekali lagi negara berkembang kujadikan alasan, sudah ada tombol untuk membuat lampu lalulintas memberhintakan kendaraan yang melaju dan memberikan kesempatan menyebrang bagi pejalan kaki, malah dia tetap nekat menyebrang di kala lampu lalulintas masih berwarna hijau. Mungkin karena pendidikan rendah, jadi tidak mengerti bahwa tombol itu untuk membuat kendaraan yang melaju berhenti sejenak, walaupun yang aku liat orang menyebrang secara liar itu memakai jas sih, tapi itu tak juga bisa jadi patokan. Terlalu banyak nepotisme di negeri ini.
Terakhir dari celotehku malam ini, ada hal lucu mengenai pengendara motor yang menjajah para pejalan kaki. Setelah sampai di stadion deket stadion kebanggaan ibukota, jalan untuk kendaraan pun macet sekali yang dijejali kendaraan pribadi. Motor-motor yang merasa lebih mudah bergerak ke tempat sempit berusaha menerobos kemacetan dengan lewat trotoar rusak yang cukup luas.
Lalu, aku pun nekat jalan di tengah trotoar yang menghalangi para 'cecungguk bermotor' itu untuk melaju di trotoar rusak. Namun, bukannya menghindari aku, mereka malah nekat ingin menabrak sambil berceloteh ketus karena tidak memberi mereka jalan. Aku pun hanya membalas senyuman besar yang cukup menyebalkan. Mereka pun tidak tahu memberikan respon apa, karena langsung saja melanjutkan laju motornya setelah melewati hadanganku.
Trotoar yang rusak pun semakin rusak karena ulah si cecunguk bermotor itu. Ya alasan saya melihat fenomena tersebut karena ini negara berkembang.
Pemerintah daerah dan pusat pun seperti gemetar dengan perusahaan asing yang produksi kendaraan buat membatasi kendaraan di ibukota terutama. Walaupun aku seperti hanya tukang fitnah yang mengatakan ada permainan antara perusahaan produksi kendaraan asal eropa, negeri gingseng dan sakura, tapi ya pembatasan kendaraan itu penting karena jumlah manusia di negara berkembang ini terus bertambah yang akan seiring pula dengan pertambahan kendaraan pribadi. Semoga saja semakin ke sini, pemimpin semakin tidak bodoh.
Komentar
Posting Komentar