Persepsi Pendidikan Negara Bekembang

Salah satu sekolah di Hyderabad, India yang memfokuskan pada karakter siswanya
 Ketika pengantar bahasa asing lebih dianggap membuat sebuah kualitas sekolah lebih tinggi daripada kualitas guru

SEBELUM Mahkamah Konstitusi menentukan penghapusan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), banyak orang tua siswa yang mengagungkan sistemnya dengan pengantar bahasa asing. Karena, indikator sukses orang tua siswa di Indonesia itu piawai berbahasa asing.

Jauh, sebelum lahirnya status sekolah RSBI atau SBI, yang diagungkan ialah sekolah dengan status Sekolah Standar Nasional (SSN). Sekolah dengan status tersebut diindikasi akan membawa kesuksesan pada siswa-siswanya karena statusnya sudah standar nasional. Namun, status tersebut terkadang membuat sekolah seenaknya meminta pungutan kepada orang tua siswa dengan alih-alih berbicara fasilitas.

Sayangnya, orang tua siswa di Indonesia tidak pernah melihat apa yang anaknya lakukan di sekolah tersebut, mereka hanya yakin dengan statusnya yang sudah menasional atau internasional. Ditambah lagi keyakinan mereka dengan bayaran yang tinggi dari sekolah negeri biasa dan fasilitas fisik yang tampak memadai di mata mereka sekilas. Mungkin, penyediaan komputer pentium 3 atau 4 dan AC disetiap ruangan sudah menjadi indikator para orang tua siswa atas fasilitas sekolah yang memadai.

Hingga akhirnya sekolah negeri di Indonesia mempunyai persaingan gengsi yang lebih tinggi dibandingkan sekolah swasta yang adem anyem karena sudah mempunyai pasarnya sendiri. Namun, berbeda sekali dengan sekolah negeri yang berada di negara berkembang lainnya, dalam hal ini penulis baru mengetahui kondisi di India dan Nigeria. Di kedua negara berkembang tersebut, kondisi sekolah negeri sangat tidak memadai menunjang pendidikan dari segi pengajaran. Walaupun, gedung sekolah negeri terlihat bagus dan kokoh dari luar.

Salah seorang professor pendidikan matematika, Prof. Tooley melakukan perjalanan ke beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika. Hasilnya, ia menemukan sekolah-sekolah swasta kumuh di daerah urban negara berkembang tersebut. Namun, ketika dia membicarakan kehadiran sekolah swasta untuk kaum miskin kepada beberapa tokoh di negara berkembang, dia malah ditertawakan, dengan alasan perbedaan persepsi antara orang inggris dengan orang di negara berkembang.

Di Inggris, sekolah negeri itu adalah sekolah elit, sementara di negara berkembang, sekolah negeri itu ialah sekolah milik pemerintah untuk kaum miskin dan sekolah swasta itu hanya untuk golongan elit. Kalimat yang muncul karena pendapat Tooley tersebut adalah, "Mustahil orang miskin itu sekolah di sekolah swasta. Sehingga, banyak yang menganggap pendapat Tooley ini karena kesalahan persepsi budaya. Meskipun begitu, Tooley menolak bahwa ia salah persepsi, karena ia sendiri melihat ada sekolah negeri dan disekitarnya juga ada sekolah swasta untuk kaum miskin.

Namun, pada kenyataannya, memang benar ada kehadiran sekolah-sekolah swasta di daerah kumuh dengan fasilitas seadanya. Sekolah-sekolah swasta tersebut berada di daerah urban, seperti di Hyderabad, India, dan Makoko, Nigeria. Sekolah swasta itu hadir dari permintaan warga yang resah dengan kualitas pendidikan negeri. Walaupun, pendidikan negeri gratis, tapi orang tua siswa di sana melihat anaknya tidak akan dididik semana mestinya karena guru-guru di sana tak mengajar dengan sungguh-sungguh.

Sebuah cerita di India dalam tulisan Tooley, banyak orang tua siswa yang memindahkan anaknya dari sekolah negeri yang gratis ke sekolah swasta berbiaya murah di daerah kumuh. Alasannya, karena siswa di sekolah negeri tersebut jarang belajar, serta guru-guru yang konon sudah mendapat sertifikasi itu dan mendapat gaji tinggi malah lebih suka pesta dan mabuk-mabukan. Tooley pun menganalogikan sistem sertifikasi guru itu bagai belajar berenang tanpa pernah merasakan air di kolam renang.

Sekolah swasta di daerah kumuh tersebut, walaupun berbiaya murah serta dengan fasilitas seadanya tapi para guru di sana mengajar dengan sungguh-sungguh. Sehingga, orang tua siswa bisa dengan tenang dan yakin anaknya mendapatkan pengajaran yang layak walaupun fasilitas minim. Walaupun guru-guru yang mengajar di sana tidak tersertifikasi, tapi mereka yakin guru yang tersertifikasi dan tidak bukan sebagai indikator kualitas guru. Mereka hanya melihat kesungguhan guru tersebut mengajar anak-anaknya. Percuma, bila guru itu tersertifikasi tapi tidak sungguh-sungguh dalam mengajar.

Lanjut ke wilayah di Makoko di sekitar wilayah Lagos, Nigeria, sama seperti yang terjadi di Hyderabad, India, di sana orang tua yang tinggal di wilayah kumuh lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta daerah kumuh walaupun status sekolah tersebut belum diakui. Padahal, sekolah negeri yang tempatnya juga berada di sekitar itu gratis. Namun, orang tua siswa memantau bahwa anaknya di sana jarang belajar bahkan lebih banyak main di luar tanpa pengawasan guru.

Melihat fenomena yang diteliti Tooley pada 2000-an awal tersebut, penulis melihat bagaimana orang tua di sana pintar melihat sekolah yang berpengaruh untuk pendidikan anaknya di masa depan. Orang tua di sana tidak memburu sekolah gratis atau sekolah yang diakui tapi mereka mencari sekolah yang bisa dan mau mendidik anak-anaknya dengan sungguh-sungguh. Lahirnya sekolah swasta kumuh yang berbiaya ringan bahkan di Makoko biayanya terserah kepada orang tua siswa mau memberi berapa yang penting berguna untukkemanjuan sekolah menjadi alternatif pilihan untuk menghindari sekolah negeri yang membuat anak-anak lebih banyak nganggur di kelas.

Namun, bila dibandingkan dengan Indonesia jelas memang berbeda, walaupun penulis belum melihat ke wilayah urban atau terpencil bagaimana kondisi sekolah negeri ataukah mungkin juga ada sekolah swasta untuk kaum miskin juga. Tapi, di Indonesia, seolah orang tua tidak memikirkan apa yang dilakukan anaknya di sekolah. Bahkan, ada orang tua yang senang kalau anaknya tidak terlalu banyak belajar di kelas, atau tidak ada guru dikelas. Karena orang tua di Indonesia amat terlalu yakin dengan status sekolah seperti yang dijabarkan pada awal tulisan.

Tapi, hal tersebut terjadi juga karena masyarakat Indonesia tidak ada pilihan, sekolah yang statusnya berada di papan bawah pun memberikan pendidikan seadanya. Sehingga, suka tidak suka orang tua pun lebih memilih sekolah status tinggi dan harga yang tidak sesuai dengan kualitas.

Belum lagi kurikulum yang tidak direncanakan secara matang sehingga kerap berubah dan terkesan tidak fokus dalam membangun generasi muda, Berbeda dengan di sekolah swasta kumuh di India dan Nigeria, di sana kurikulum tidak mengikuti secara nasional, mereka dibebaskan membentuk siswa seperti apa dengan tanggung jawab penuh dari sekolah. Sementara di Indonesia, semua tergantung kepada pemerintah, sehingga kurikulum yang membuat pasif siswa pun harus dijalankan.

Sejauh ini, pendidikan Indonesia yang konon dalam kurikulumnya mencakup Kognitif, Psikomotorik dan Afeksi itu masih belum memadai membentuk karakter siswa. Sehingga sampai detik ini yang terasa dan terlihat adalah siswa menjadi para manusia pasif yang mengerjakan tugas dan memperhatikan guru menerangkan. Seharusnya, pendidikan dasar Indonesia lebih fokus kepada pembentukan karakter, dan praktis yang bisa membentuk mental. Sementara teori dan sebagainya bisa dijadikan pendamping selama pembentukan karakter tersebut.

Kembali ke sekolah swasta kumuh di India dan Nigeria tersebut, dibahas bahwa di sekolah swasta tersebut siswanya lebih memahami materi karena tidak menggunakan pengantar bahasa asing tapi lebih menggunakan bahasa mereka sehari-hari. Bayangkan, sangat berbeda dengan Indonesia yang mengganggap sekolah pengantar bahasa asing itu lebih baik daripada sekolah yang hanya menggunakan bahasa Indonesia. Padahal yang dituju adalah siswa paham materi yang diajarkan bukan paham bahasa asing pada materi yang diajarkan.

Komentar