SEJAK runtuhnya rezim Orde Baru, lambat laun Indonesia berubah menjadi pemerintahan yang terbuka, mengkritik dan demonstrasi dianggap sebagai salah satu bagian dari sistem demokrasi. Hingga pada 2006, Mahkamah konstitusi melakukan dekriminalisasi untuk aturan penghinaan kepada presiden karena tidak sesuai dengan undang-undang dasar. Sehingga, rakyat pun bebas menghujat pemimpinnya bila tidak bekerja sesuai dengan ekspetasi.
Tapi, di 2013, Fraksi Gerindra dalam Kompas.com 26 Maret 2013 menyatakan meminta untuk rakyat yang menghina presiden di pidanakan. Sesuai dengan, Pasal 265 RUU KUHP, para penghina presiden nantinya akan dihukum paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV (Kalau tidak salah sebesar Rp300 juta).
Isi dari Pasal 265 RUU KUHP sendiri adalah sebagai berikut,
"(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g."
Namun, masalah hukuman masih dikaji lagi, karena pihak yang mengajukan pun sadar bahwa yang hobi menghujat presiden itu dari kaum muda. Si pengaju pun memikirkan pula masa depan si pemuda yang menghujat presiden ini bila si RUU ini disahkan. Tapi, tetap adanya RUU ini menggambarkan Indonesia belum "Move On' dari era Orde Baru.
Sempat berpikir ini adalah sebuah manuver bagi pemimpin pepesan kosong yang memburu pencitraan saja, sehingga tak kuat menerima kritik yang tajam. Apalagi, kritik tersebut menyebabkan publik tahu bahwa pemimpin tersebut hanya sekedar pepesan kosong. Selain itu, menjelang 2014 pemilihan presiden baru, ditengah krisis tokoh yang diajukan untuk menjadi presiden, sepertinya RUU ini bisa menyelematkan para pemimpin-pemimpin yang sekedar ingin kekuasaan tanpa perubahan. Mungkin saja, setelah pemimpin yang terpilih tersebut ingin mengubah Indonesia dengan sistem otoriter yang anti kritik atau hujatan.
Kalau dilihat, pasti ada alasan rakyat menghina, menghujat atau mengkritik pemimpinnya, mungkin pemimpinnya tidak menepati janji saat ia kampanye atau pemimpinnya hanya memimpin partai bukan rakyatnya, bahkan pemimpinnya hanya memimpin rakyat kelas menengah atas dan tidak mengganggap keberadaan rakyat menengah ke bawah. Alasan tersebut merupakan hal wajar, dan seharusnya pemimpin yang baik bisa menerima hujatan dengan cara yang interopeksi diri, kenapa dirinya kok bisa dihujat seperti itu. Setelah itu, melakukan perubahan, walaupun mungkin citranya buruk karena hujatan tersebut. Tapi, citra yang buruk jangan diakali dengan pencitraan 'lebay' yang 'sok' membaik-baikkan, cobalah dengan membuat perubahan yang signifikan.
Indonesia sendiri seperti yang tertulis di beberapa paragraf sebelumnya tidak bisa lari dari kenyataan bahwa era orde baru telah runtuh dan sekarang sudah era dimana kritik itu bukan hal yang aneh. Namun, penyakit tak suka dikritik dan dihujat seperti mendarah daging dan tak bisa lepas lagi. Tak hanya golongan pemerintahan yang tak suka dikritik, beberapa organisasi masyarakat dan mahasiswa pun emosi ketika di kritik kebobrokannya. Dalihnya, jagalah perasaan mereka yang berada di organisasi tersebut, karena mereka pun menjalankan organisasi dengan perasaan manusiawi.
Sebuah hal lucu, ketika organisasi dihujat, ia marah, emosi dan menolak pernyataan dari hujatannya serta mengatakan untuk menjaga perasaan mereka. Seolah hujatan negatif itu membuat citra mereka hancur dan masyarakat akan memandang buruk selamanya mereka. Seharusnya, bangsa ini belajar dari kritik atau hujatan negatif, dengan melawan hujatan tersebut lewat aksi nyata bahwa mereka tidak sesuai dengan hujatan tersebut. Kalau ada kalimat "Belajarlah dari pengalaman" mungkin perlu ditambahkan lagi untuk bangsa ini yaitu, "Belajarlah dari setiap kalimat hujatan". Karena tidak ada hujatan yang tidak beralasan.
Tapi, di 2013, Fraksi Gerindra dalam Kompas.com 26 Maret 2013 menyatakan meminta untuk rakyat yang menghina presiden di pidanakan. Sesuai dengan, Pasal 265 RUU KUHP, para penghina presiden nantinya akan dihukum paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV (Kalau tidak salah sebesar Rp300 juta).
Isi dari Pasal 265 RUU KUHP sendiri adalah sebagai berikut,
"(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g."
Namun, masalah hukuman masih dikaji lagi, karena pihak yang mengajukan pun sadar bahwa yang hobi menghujat presiden itu dari kaum muda. Si pengaju pun memikirkan pula masa depan si pemuda yang menghujat presiden ini bila si RUU ini disahkan. Tapi, tetap adanya RUU ini menggambarkan Indonesia belum "Move On' dari era Orde Baru.
Sempat berpikir ini adalah sebuah manuver bagi pemimpin pepesan kosong yang memburu pencitraan saja, sehingga tak kuat menerima kritik yang tajam. Apalagi, kritik tersebut menyebabkan publik tahu bahwa pemimpin tersebut hanya sekedar pepesan kosong. Selain itu, menjelang 2014 pemilihan presiden baru, ditengah krisis tokoh yang diajukan untuk menjadi presiden, sepertinya RUU ini bisa menyelematkan para pemimpin-pemimpin yang sekedar ingin kekuasaan tanpa perubahan. Mungkin saja, setelah pemimpin yang terpilih tersebut ingin mengubah Indonesia dengan sistem otoriter yang anti kritik atau hujatan.
Kalau dilihat, pasti ada alasan rakyat menghina, menghujat atau mengkritik pemimpinnya, mungkin pemimpinnya tidak menepati janji saat ia kampanye atau pemimpinnya hanya memimpin partai bukan rakyatnya, bahkan pemimpinnya hanya memimpin rakyat kelas menengah atas dan tidak mengganggap keberadaan rakyat menengah ke bawah. Alasan tersebut merupakan hal wajar, dan seharusnya pemimpin yang baik bisa menerima hujatan dengan cara yang interopeksi diri, kenapa dirinya kok bisa dihujat seperti itu. Setelah itu, melakukan perubahan, walaupun mungkin citranya buruk karena hujatan tersebut. Tapi, citra yang buruk jangan diakali dengan pencitraan 'lebay' yang 'sok' membaik-baikkan, cobalah dengan membuat perubahan yang signifikan.
Indonesia sendiri seperti yang tertulis di beberapa paragraf sebelumnya tidak bisa lari dari kenyataan bahwa era orde baru telah runtuh dan sekarang sudah era dimana kritik itu bukan hal yang aneh. Namun, penyakit tak suka dikritik dan dihujat seperti mendarah daging dan tak bisa lepas lagi. Tak hanya golongan pemerintahan yang tak suka dikritik, beberapa organisasi masyarakat dan mahasiswa pun emosi ketika di kritik kebobrokannya. Dalihnya, jagalah perasaan mereka yang berada di organisasi tersebut, karena mereka pun menjalankan organisasi dengan perasaan manusiawi.
Sebuah hal lucu, ketika organisasi dihujat, ia marah, emosi dan menolak pernyataan dari hujatannya serta mengatakan untuk menjaga perasaan mereka. Seolah hujatan negatif itu membuat citra mereka hancur dan masyarakat akan memandang buruk selamanya mereka. Seharusnya, bangsa ini belajar dari kritik atau hujatan negatif, dengan melawan hujatan tersebut lewat aksi nyata bahwa mereka tidak sesuai dengan hujatan tersebut. Kalau ada kalimat "Belajarlah dari pengalaman" mungkin perlu ditambahkan lagi untuk bangsa ini yaitu, "Belajarlah dari setiap kalimat hujatan". Karena tidak ada hujatan yang tidak beralasan.
Komentar
Posting Komentar