2014 sebentar lagi tiba, acara besar bagi 'mungkin' seluruh republik negeri ini untuk memilih wakil rakyat dan presidennya. Pemilu 2014, penentuan nasib sebuah negeri bernama Indonesia selama lima tahun ke depan. Para calon presiden dan wakil presiden pada 2014 nanti memang masih kabur dan belum pasti siapa saja yang akan maju. Walaupun dari beberapa parta, seperti Golkar dan Gerindra sudah menyiapkan Aburizal Bakrie dan Prabowo sebagai calon presiden dari partai mereka.
Calon presiden memang belum pasti siapa saja manusia Indonesia yang akan maju, tapi calon legislatif (Caleg) sudah pasti setelah mendaftarkan diri melalui partainya dan partainya sudah memberikan dokumen ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beberapa Caleg dan orang-orang KPU berkata, pemilihan Caleg sekarang tidak seperti dulu seperti membeli kucing dalam karung.
Dikatakan seperti membeli kucing dalam karung, karena dulu pemilihan caleg hanya memilih partainya saja tidak orangnya. Sementara orang-orang yang menjadi Legislatif dari partai yang memperoleh suara terbanyak dipilih sendiri dari partainya.
Namun, saya melihat walau terlihat sekarang tidak memilih kucing dalam karung, tapi masyarakat seperti membeli kucing dalam kandang yang tidak bisa dicek dulu kondisi kucingnya seperti apa. Masyarakat tidak tahu apakah kucing itu sedang sakit atau punya banyak kutu dibulunya atau hal negatif lainnya. Masyarakat hanya bisa melihat kucing itu dari luar secara langsung tapi tak bisa menyentuhnya.
Masyarakat memang tahu siapa saja yang akan jadi caleg, tapi masyarakat tidak tahu sekredibel apa caleg yang mereka pilih. Mungkin saja diantara caleg tersebut ada yang tidak paham apa tugas legislatif. Walaupun beberapa caleg melakukan kampanye gencar mengenai visi dan misi mereka, tapi itu abstrak, tak terlihat kompetensi mereka untuk memimpin rakyat untuk bersuara selama lima tahun kedepan. Maka saya sebut, sistem yang sekarang seperti membeli kucing dalam kandang.
Belum lagi para caleg tersebut bila terpilih menjadi anggota legislatif nantinya bukan mengaspirasikan suara rakyat. Tapi menyampaikan aspirasi yang sesuai dengan visi misi partainya masing-masing, untung-untung masih sesuai sama suara rakyat. Walaupun dalam rapat paripurna yang ditayangkan secara langsung di televisi swasta beberapa waktu lalu terdengar guyonan, "Suara Golkar suara rakyat." Berarti jelas, legislatif tersebut membawa suara partainya yaitu Golkar yang dianggap suara rakyat. Mungkin sesuai dengan rakyat yang menjadi anggota partai Golkar.
Kemudian, menjadi wakil rakyat sendiri juga cukup sulit, rakyat itu tidak berarti semua manusia Indonesia yang susah dan miskin. Ada pula rakyat kelas atas dan menengah. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut pun akan bingung membela suara rakyat yang sesuai dengan visi misi partainya di golongan atas menengah atau bawah. Akhirnya, pilihan pun dominan (Pandangan subjektif penulis) ke rakyat kelas atas.
Sebenarnya, pandangan penulis menjadi wakil rakyat bukan berarti selalu membela rakyat atau mengaspirasikan suara rakyat. Tapi, mengarahkan sistem negara dan segala kebijakan ke arah yang benar sehingga perkembangan negara ke arah yang sejahtera dampaknya ialah rakyat kelas bawah tak merasa kesusahan lagi.
Karena itu, penulis terinspirasi dengan sistem lelang jabatan yang dilakukan pemprov DKI Jakarta atas saran dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Jadi, pemilihan Caleg bukan lewat partai tapi mendaftar dengan ketentuan khusus lalu nanti akan mengikuti sejumlah tes. Sehingga ketika menjadi anggota legislatif, ia bukan menjadi perwakilan partai tapi perwakilan dirinya sebagai rakyat Indonesia.
Kemudian, persyaratannya yang paling penting ialah latar belakang ilmunya sesuai dengan komisi yang dipilihnya. Sehingga komisi-komisi yang ada di DPR diisi oleh orang-orang yang paham betul tentang fokus kerja setiap komisi tersebut. Mungkin bisa disebut Zaken Legislatif.
Salah satu yang harus di tes nantinya berisi pengetahuan mereka tentang tugas dari anggota legislatif. Karena, mungkin masih banyak anggota legislatif yang tidak paham apa tugas legislatif. Hal tersebut terlihat ketika Legislatif daerah (DPRD) DKI Jakarta yang sempat ingin menurunkan Gurbenur DKI Jakarta, Jokowi lewat hak Interpelasi.
Entah wartawannya yang salah tafsir atau memang anggota DPRDnya yang terlalu 'bodoh' hingga menganggap hak interpelasi bisa menurunkan gurbenur. Satu hal pertama yang pasti DPRD tidak bisa menurunkan gurbenur hanya lewat tanda tangan mereka atau apapun itu, kata teman penulis yang anak pemerintahan DPRD dan Gurbenur itu setara tingkatannya. DPRD berbeda dengan DPR yang bisa menurunkan presiden.
Kedua, hak interpelasi itu ialah hak tanya atau meminta keterangan kepada pemimpin terkait permasalahan yang ada. jadi sangat 'bodoh' bila ada yang percaya DPRD bisa menurunkan Gurbenur, itu seperti sebuah dagelan siang bolong.
Melihat hal tersebutlah penulis berpikir bahwa masih banyak anggota legislatif di tingkat nasional maupun daerah yang tidak paham apa tugas mereka. Bahkan, undang-undang yang ada mungkin jarang mereka lirik. Toh, mereka sendiri ikut rapat pun amat tersangat jarang, Anggota DPR terakhir di rekap kehadiran rapatnya hanya dari Hanura yang tingkat kehadirannya paling tinggi, itu pun tidak mencapai 50% hanya sampai 44% saja.
Karena itu, Zaken Legislatif bisa menjadi pilihan, sehingga tanggung jawab seorang anggota legislatif bukan pada partainya tapi pada diri sendiri secara khusus dan umumnya kepada rakyat. Kalau dalam fraksi partai, mungkin setiap anggota DPR yang se fraksi akan berpikir bahwa rekannya sudah datang, untuk apa dia datang lagi. Akhirnya kursi rapat banyak yang kosong, untung kursi ketua DPR tidak kosong juga.
Namun, entah apakah negeri ini bisa menerima kalau Legislatifnya melalui lelang jabatan seperti itu, mungkin nanti ada yang 'Berbacot" ria bahwa hal ini tidak sesuai demokrasi dan ia lebih senang memilih Caleg abal-abal yang tak tahu seperti apa kredibilitasnya. Apakah negeri ini siap menerima anggota legislatif dari seleksi beragam tes?
Komentar
Posting Komentar