Penjaraku Istanaku



Penjara, atau kata kiasannya Hotel Prodeo, membayangkannya saja sudah malas dan takut. Karena, memang itu tempat untuk para penjahat dari skala kecil sampai besar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa penjara ialah bangunan tempat untuk mengurung orang yang dalam masa hukuman. Berarti, simpulannya penjara ialah tempat yang dibuat setidaknyaman mungkin untuk bisa menghukum para penjahat.

Lalu, di periode reformasi ini, ada beberapa fakta terungkap tentang penjara. Ternyata penjara untuk penjahat kelas atas seperti koruptor bukan seperti kiasan hotel prodeo tapi kenyataannya benar-benar seperti hotel. Bayangkan dalam penjara ada AC, televisi layar datar dengan pengeras suara terbaik, Kulkas, Narkoba dan berbagai fasilitas lainnya. Tampaknya kalau melihat fasilitas tersebut, orang miskin lebih baik dipenjara daripada tinggal di rumahnya yang berbentuk bedeng-bedeng.

Tak hanya fasilitas istimewa saja, ternyata para narapidana kelas atas, dalam hal ini fokusnya ke pelaku korupsi bisa dengan bebas keluar masuk penjara. Lalu, untuk apa mereka di penjara kalau penjara sudah seperti rumah bagi mereka sendiri. Fasilitas ada, keluar masuk pun mudah. Sama saja mereka menikmati hasil uang mereka dengan cara lain yaitu menyuap sipir penjara agar mereka bisa menghirup udara bebas dengan status napi.

Penulis pun sempat berpikir bahwa azas yang digunakan di dalam penjara ialah azas kekeluargaan. Kenapa penulis sebut para manusia di dalam penjara ini menganut azas kekeluargaan? jelas karena mereka (antara sipir dan napi) saling mengerti dan memahami satu sama lain. Sipir butuh uang lebih untuk menghidupi keluarganya dan para napi butuh fasilitas serta udara bebas untuk bisa menikmati uang hasil kejahatannya. Jadi, terlihat sangat saling memahami sekali kedua kelompok tersebut (sipir dan napi). Mungkin bisa disebut keduanya menganut sistem Simbiosis Mutualisme.

Selain azas kekeluargaan, mungkin hal ini disebabkan oleh faktor istilah penjara yang dipakai ialah Lembaga Permasyarakatan. Jadi, para napi dibuat harus hidup bermasyarakat dengan saling berbagi untuk bisa mendapat balasannya. Contohnya, Napi kasih uang ke Sipir, maka Sipir kasih balasan jasa kepada Napi sesuai dengan yang ia inginkan. Harusnya istilah untuk penjara diganti menjadi Lembaga Kumpulan Penjahat (Lekupe).

Selain hubungan antara Sipir dan Napi yang menggunakan azas kekeluargaan, ternyata aturan napi koruptor untuk keluar penjara pun aturan yang ada memang masih ambigu dan terkesan lebih condong menguntungkan napi. Bisa dirinci pasal 17 (1), pasal 41 (1) dan (3), serta syarat khusus dalam aturan resminya.

Pada Pasal 17 ayat 1 tertulis, "Apabila Narapidana memerlukan perawatan lebih lanjut, dokter LP memberikan rekomendasi kepada kepala LP agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit umum pemerintah luar LP dengan izin tertulis kepala LP." Rasanya lucu sekali, seorang Napi sakit parah dan dokter LP merekomendasikan untuk dirawat di luar LP. Meskipun ia dirawat di rumah sakit pemerintah, tapi tetap saja itu ialah peluang napi untuk merasakan udara bebas. Napi pun bisa berpura-pura sakit dan membayar dokter LP untuk diberikan rekomendasi merasakan udara ke luar LP.

Seharusnya, biarkan saja Napi tersebut membusuk mati di penjara bila dokter di LP sudah tak mampu untuk mengobatinya lagi. Toh, ia itu sedang dalam masa hukuman, masa tetap dimanjakan dengan perawatan dari LP dengan menggunakan anggaran LP yang notabenenya dari negara.

Pasal 41 ayat 1 tertulis, "setiap narapidana dapat diberikan cuti mengunjungi keluarga dan cuti menjelang bebas." Sungguh, ini aturan teraneh yang pernah ada, seorang napi bisa ngambil  cuti? memangnya dia pekerja atau karyawan. Orang yang dalam masa hukumannya bisa mengurangi hukumannya lewat remisi dan juga lewat cuti. Apalagi cuti menjelang hari kebebasan, untuk apa dia cuti tinggal di penjara sedangkan sebentar lagi bebas. Amat tidak logis aturan tersebut.

Sementara pasal 41 ayat 3 tertulis, "Cuti mengunjungi keluarga tidak diberikan kepada narapidana tindak pidana terorisme, korupsi, narkotika, kejahatan HAM berat, kejahatan transaksional, dan kejahatan terhadap keamanan negara." Tapi, dibawahnya tertulis sebuah syarat yang berbunyi, "Bagi narapidana tindak pidana terorisme, korupsi, narkotika, tindak kejahatan HAM berat, kejahatan transaksional dan kejahatan terhadap keamanan negara dapat diberikan cuti menjelang bebas oleh menteri apabila, telah menjalani 2/3 masa tahanan, berkelakuan baik selama 9 bulan terakhir, lama cuti menjelang bebas sebesar remisi terakhir dan mendapatkan pertimbangan dari Dirjen Permasyarakatan.

Namun, bila aturan tersebut dihapus, pasti pihak Komnas HAM mengatakan aturan yang membuat narapidana sengsara di penjara adalah tindakan melanggar HAM. Lucunya kalau, pelaku kejahatan yang melanggar HAM tidak boleh dihukum dengan cara yang dianggap komnas HAM melanggar HAM. Kalau begitu, semakin banyak saja penjahat kelas atas yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar tapi hanya dihukum seringan-ringannya demi tidak melanggar HAM para penjahat tersebut.

Komentar