Takdir Media Partisan di Era Kebebasan Pers



Video Youtube berjudul Media & Politik (Part 1) membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memanggil Dirut Media Nusantara Citra (MNC) grup, Hari Tanoe untuk memberikan klarifikasi atas video tersebut. Dalam video tersebut, disebutkan bahwa pihak Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Perindo akan memanfaatkan media grup yang dimiliki Hari Tanoe yang juga ketua Perindo ini untuk berkampanye menyongsong kemenangan di Pemilu 2014 nanti.

Walaupun Hari Tanoe pada akhirnya tidak memenuhi panggilan tersebut dengan alasan  masih berada di luar negeri. KPI berencana memanggil ulang dirut MNC grup tersebut. Dalam dialog yang diunggah ke Youtube tersebut disebutkan bahwa RCTI akan memberikan slot untuk kampanye Hanura dan kemudian ada satu Channel di Indovision yang berisi tentang Hanura. Menariknya, dalam dialog tersebut juga disebutkan hal tersebut sudah dipraktekan di partai yang lama yaitu Nasional Demokrat (Nasdem).

Berbicara Media dan Partai politik pasti mengarahkan pemikiran ke media partisan yang sudah ada di Indonesia sejak era Soekarno. Bila pada era Soekarno media partisannya berupa surat kabar dari setiap golongan seperti partai islam, komunis dan nasionalis. Sementara di era Soeharto media partisannya yang terlihat jelas hanya Suara Karya dari Golongan Karya (Golkar). Di era Reformasi, media partisannya sudah tak terlalu menyentuh surat kabar lagi tapi sudah menjamah ke media televisi yang mempunyai massa lebih banyak.

Sesuai karakteristik media televisi yaitu audio dan visual membuat khalayak yang menyaksikan tak usah lagi perlu menginterpretasikan lewat imajinasi seperti membaca surat kabar atau mendengar radio. Sehingga pengaruh yang diberikan televisi pun bisa dibilang lebih kuat dari dua media konvensional lainnya.  Apalagi sekarang televisi sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia, sehingga pengaruh televisi sudah tak diragukan lagi kekuatannya Sementara surat kabar, yang menyentuhnya hanya sekedar kalangan yang suka membaca, bagi yang tidak gemar membaca mungkin sangat enggan menyentuh surat kabar.

Namun, apakah media partisan itu haram? walaupun dikatakan haram sekalipun, dominan media di Indonesia sudah menjadi media partai secara langsung maupun tidak langsung. Fenomena media partisan di era reformasi sendiri pun terjadi karena pemilik media tertarik merambah ke dunia politik atau tokoh politik yang gatal dan punya uang lebih untuk merambah ke dunia media.

Tengok saja media-media televisi (Fokus lebih ke televisi analog dengan alasan masyarakat bisa mengakses stasiun televisi analog tersebut) seperti TV One dan ANTV yang dimiliki Bakrie dan secara otomatis menjadi media humasnya Golkar karena Aburizal Bakrie dengan cara merengek dan memaksa ingin menjadi Capres 2014 nanti dari partai Golkar. Kemudian Metro TV yang dimiliki Surya Paloh dari Nasional Demokrat. RCTI, MNC TV, dan Global Tv dimiliki MNC Grup, Hari Tanoe dari Hanura dan Perindo. Kemudian, Trans Tv dan Trans 7, dimiliki Chairul Tanjung yang namanya sempat masuk daftar calon alternatif Capres, selain itu tersiar kabar juga akan mendukung Demokrat. Sementara, SCTV dan Indosiar dari Emtek (Elang Mahkota Teknologi) grup milik Sariaatmadja ini penulis masih belum tahu dalam hal politik di partai mana mereka menempatkan posisi. Walaupun masih lowong, menjelang 2014 nanti pastinya Emtek Grup ini akan didekati para pengejar kursi RI1.

Melihat hal tersebut, media partisan sendiri sepertinya memang mutlak ada di dunia terlepas dari haram atau tidaknya keberedaan mereka. Ketika masa Soeharto yang otoriter pun media partisan tetap hadir mendukung partai penguasa. Sementara setelah runtuhnya Orde Baru dan konon media menggemborkan kebebasan pers, malah tetap melahirkan media partisan. Bahkan beberapa diantara tokoh pengamat komunikasi dan media mengatakan media partisan adalah anak kandung dari kebebasan pers.

Tapi, menurut penulis ketika bentuk kampanye partai politik itu berbentuk iklan sebenarnya tidak masalah. Hanya saja, ketika bentuk kampanye partai politik dikemas dalam bentuk berita yang terlihat seolah seperti berita sungguhan itu sepertinya yang patut diperhatikan. Namun, berbicara dengan sederhana dengan seorang teman di media sosial mengenai media partisan ini, menurut seorang teman sebenarnya tidak masalah media partisan ini semua kembali tergantung pada khalayak yang menyaksikannya.

"Kalau tidak suka ya tinggal diganti channelnya," kurang lebih seorang teman mengatakan seperti itu.

Memang itu seperti pemikiran sederhana, tapi dalam prakteknya masyarakat Indonesia masih belum cukup cerdas dalam menikmati media. Mereka tak bisa memilih tayangan mana yang berkualitas dan menguntungkan untuk mereka dan tidak. Terutama masyarakat menengah ke bawah, rata-rata mereka gemar membuang waktu mereka untuk menonton sebuah tayangan yang hanya berisi pepesan kosong. Tapi, faktor lainnya memang tidak ada indikator konkrit pula mengenai acara yang berisi, itu sesuai interpretasi masing-masing individu saja.

Hanya saja, hal ini membuat nanti ketika perang kepentingan di televisi pada pemilu 2014, pengaruh-pengaruh yang diinginkan oleh para calon penguasa ini efektif mempengaruhi dominan khalayaknya. Baik kalau apa yang ditampilkan para calon penguasa itu bukan sekedar pencitraan saja, tapi kalau semua itu hanya semu dan berpura-pura menjadi orang yang baik di layar kaca tapi ternyata beringas di lapangan. Tentunya akan menjadi masalah jangka panjang untuk negeri ini. Seluruh rakyat Indonesia pasti tidak ada yang tahu bentuk karakter para calon penguasa di luar layar kaca itu seperti apa, karena mereka hanya tahu apa yang mereka lihat. 

Komentar