1942, Belanda terpaksa mundur dari Indonesia digantikan oleh Jepang, sementara negeri matahari terbit itu datang ke Indonesia mengaku sebagai saudara tua sesama bangsa Asia. Namun, lambat laun, kedok Jepang yang berniat menjajah terasa juga ke beberapa penduduk Indonesia. Di sinilah pergolakan dimulai, saat Jepang merasa banyak Kiai dari berbagai pondok pesantren yang memanas-manasi santrinya untuk melawan Jepang. Pemerintahan Jepang di Indonesia pun membuat kebijakan untuk menangkap semua kiai pondok pesantren yang ada di Jawa.
Tebuireng, sebuah pondok pesantren di Jawa Timur yang dipimpin oleh KH. Hasyim Ashari, sebuah pondok pesantren yang mempunyai reputasi cukup besar di pulau Jawa dan Madura. Pondok pesantren tersebut pun tak luput dari razia Jepang untuk menangkap pemimpin pondok pesantrennya. Hasyim Ashari akhirnya terpaksa menyerahkan diri kepada Jepang setelah ancaman Jepang akan membakar santrinya.
KH. Wahid Hasyim, salah satu putra Hasyim Ashari, menggunakan cara diplomasi untuk bisa membebaskan ayahnya kembali. Lewat waktu yang begitu panjang dan meminta bantuan salah satu pasukan Jepang yang sudah masuk islam, akhirnya Hasyim Ashari bisa bebas. Saat itu pula Hasyim Ashari diangkat sebagai pemimpin Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Dari sanalah petaka muncul, dan petualangan Hasyim Ashari bersama putranya serta santri-santrinya melawan penjajah di mulai.
Film yang disutradarai oleh Rako Prijanto ini mengangkat kisah Hasyim Ashari dari 1942-1947 ketika ia wafat. Film ini menceritakan kisah dengan relang waktu yang cukup panjang sehingga fokus film ini pun kabur. Pasalnya, fokus terus ke sosok Hasyim Ashari tidak terlalu mencolok, dan karakter para tokoh tak begitu kuat, karena adegan yang setengah-setengah.
Namun, bila melihat film yang mengangkat biografi tokoh-tokoh pejuang keagamaan yang sebelumnya seperti Sang Pencerah dan Soegija, rasa-rasanya kualitasnya tak jauh berbeda. Hanya saja, film tentang Hasyim Ashari ini sudah melewati relang waktu yang panjang, beberapa peristiwa besar pun termasuk dalam cerita ini. Ketika kedatangan Jepang, Menyerahnya Jepang dan gerakan 10 November. Belum lagi, terakhir-akhir digambarkan bagaimana perjuangan melawan agresi militer Belanda yang amat singkat dan malah membuat ada sesuatu yang kurang dalam film ini.
Melihat peristiwa-peristiwa besar yang ikut masuk ke dalam cerita ini, penulis pun jadi berniat membandingkannya dengan film trilogi Merah Putih yang mengangkat kisah Agresi Militer Belanda sampai perginya Belanda dari Indonesia yang menjadi pertanda kemerdekaan kedua Indonesia. Trilogi Merah Putih, benar-benar fokus di setiap serinya, sehingga penonton bisa dipermainkan emosinya oleh film tersebut. Menurut penulis pun, andai film Sang Kiai ini dibuat trilogi, kisahnya akan lebih menarik. Walaupun ada kemungkinan pesan atau informasi sejarah yang ingin ditekankan bisa saja tidak terlalu diresapi penonton.
Klimaks yang tidak jelas menjadi salah satu catatan film ini, karena terlalu banyak fokus tokoh kedua yang diangkat setelah Hasyim Ashari. Ada Wahid Hasyim yang bisa dianggap sebagai penerus ayahnya, kemudian Harun, santri Hasyim Ashari yang kecewa dengan kebijakan Kiainya ketika memimpin Masyumi, ketiga bekas penerjemah di pemerintahan Jepang yang menjadi santri Hasyim Ashari, Sarinah, istrinya Harun ketika ia menyembunyikan kehamilannya dan terakhir sosok istrinya Hasyim Ashari.
Lahirnya Pancasila
Penulis menyaksikan film Sang Kiai ini tepat pada 1 Juni, yang juga memperingati hari kesaktian pancasila (entah manusia Orde Baru menamakannya seperti itu, agak lebay tampaknya). Ternyata film Sang Kiai dengan Hari lahirnya pancasila ini agak sedikit berhubungan. Hubungannya secara tidak langsung dengan Hasyim Ashari, tapi secara tidak langsung dengan anaknya Wahid Hasyim.
Wahid Hasyim, ketika Hasyim Ashari ditunjuk memimpin dua organisasi yaitu Masyumi dan salah satu organisasi yang penulis lupa apa namanya. Saat itu, Hasyim pun memilih putra pertamanya, Wahid Hasyim untuk menggantikannya ke Jakarta untuk mengurusi tanggung jawabnya tersebut.
kisah pun berlanjut pada 1 Juni 1945 (tidak digambarkan di film Sang Kiai), Wahid Hasyim berada di tempat yang sama dengan Soekarno di rapat BPUPKI mengenai dasar negara. Soekarno yang memaparkan dasar negara nasionalisnya jelas-jelas ditentang oleh kaum islam. Namun, Wahid Hasyim, yang juga menjadi pemuka Islam terkemuka saat itu, menuturkan dengan membawa wajah nasionalis islam bahwa "pertanyaan yang penting bukanlah dimana akhirnya tempat Islam di dalam negara itu, karena yang penting adalah dengan jalan manakah akan kami menjamin tempat Islam di Indonesia merdeka."
Pemikiran nasionalis islam tersebut, dalam film Sang Kiai seperti diajarkan oleh ayahnya, Hasyim Ashari, bahwa Agama dan Nasionalis bukanlah dua kutub yang saling berseberangan. Tapi, keduanya saling mendukung untuk menciptkan kehidupan yang layak. Dalam film tersebut pun digambarkan bagaimana Soekarno (yang sudah menjadi presiden saat itu) bertanya pada Hasyim Ashari mengenai fatwa membela negara bagi umat islam. Hasyim Ashari pun membakar semangat santrinya dan beberapa pondok pesantren lain, bahwa dalam islam membela tanah air itu hukumnya wajib.Terlihatlah sosok Hasyim Ashari yang Agamis tapi juga Nasionalis, karena ia ingin beribadah untuk agamanya dengan tenang. Satu-satunya cara dengan Indonesia merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Komentar
Posting Komentar