Juru Selamat Pengetatan Remisi Koruptor


Tanjung Gusta, sebuah hotel prodeo di Medan, Sumatra Utara beberapa waktu lalu ricuh. Konon awalnya karena kurangnya pasokan listrik dan air di Lembaga Permasyarakatan yang memuat 161ribu narapidana tersebut. Namun, ternyata kerusuhan yang membakar kantor sipir dan menjebol gerbang utama hingga 212 narapidana kabur itu ada hubungannya dengan aturan pengetatan remisi. Itu terlihat dalam dialog dengan menteri Hukum dan HAM kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, Amir Syarifuddin, Para Narapidana menuntut Peraturan pemerintah nomor 99 tahun 2012 direvisi karena menyulitkan para narapidana untuk mendapatkan revisi.

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua kedua atas peraturan nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan permasyarakatan. Dalam pasal 34-A Ayat 1 menjelaskan syarat remisi yang secara khusus ditunjukkan pada pelaku korupsi, narkotik, pelanggar HAM, kejahatan menganggu keamanan negara dan kejahatan transnasional terorganisasi.

Dalam pasal tersebut berisi syaratnya antara lain, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, telah membayar semua denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi dan telah mengikuti program deradikalisasi yang diselanggarakan oleh lembaga permasyarakatan atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Berbagai syarat tersebut dianggap memberatkan, hingga akhirnya Amir Syarifuddin menerbitkan surat edaran pada 12 Juli 2013 yang menegaskan bahwa aturan PP 99 tahun 2012 itu hanya berlaku bagi narapidana yang mendapatkan kepastian hukum setelah tanggal 12 November 2012.

Namun, sang menteri menyangkal bahwa kebijakan itu membuat posisinya menjadi juru selamat para narapidana koruptor. Surat edaran 12 Juli 2013 itu, menurutnya lebih di fokuskan kepada narapidana narkotik. Karena jumlah narapidana dengan kasus narkotik yang hanya dipidana karena membawa sedikit butiran narkoba sudah menyesaki penjara.

Sayangnya, dalam surat edaran tersebut, sama sekali tidak disebutkan pengecualian terhadap narapidana korupsi dan terorisme. Amir kembali berdalih bahwa PP 99 mengatur semuanya sehingga surat edaran tersebut tidak bisa difokuskan ke sebagian golongan. Menurutnya bila difokuskan ke salah satu golongan malah menjadi bertentangan dengan hukum yang ada.

Juru Selamat
Kisah gerahnya para terpidana koruptor dengan aturan pengetatan remisi ini sudah berawal dari protesnya para pelaku koruptor di hotel prodeo Sukamiskin Bandung. Para narapidana koruptor yang berjumlah 106 orang itu mengumpulkan tanda tangan yang diwakili sembilan napi dan diajukan kepada Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 22 Mei 2013.

Guyonannya, Priyo yang merasa membawa suara rakyat, ia juga punya peran membawa suara rakyat berduit haram yaitu para napi koruptor yang bebas bermain teknologi untuk mengatur usaha mereka dari hotel prodeo tersebut. Akhirnya, Priyo mengambil surat ajuan dari napi koruptor sukamiskin kepada presiden SBY dengan tembusan menteri Amir.  Priyo berdalih, hal tersebut ia lakukan semata-mata agar para napi yang tersangkut kasus korupsi tersebut bisa memperoleh hak-haknya.

"Itu tugas konstitusi. Sesuai dengan bidang tugas di DPR, surat yang berkaitan dengan politik dan hukum di teken saya," ujar Priyo kepada MBM TEMPO dalam edisi 22 Juli 2013.

Lalu, para koruptor juga memakai jasa Yusril Ihza Mahendra untuk menjadi juru selamat mereka agar dapat cepat bebas dari masa hukumannya tanpa perlu syarat yang berbelit-belit. Dua kali Yusril menjadi juru selamat untuk para pelaku kejahatan yang selalu disimbolkan dengan binatang tikus tersebut.

Pertama pada awal 2012, Yusril menggugat surat keputusan menteri hukum dan HAM tertanggal 16 November 2011 yang mengetatkan remisi koruptor dan teroris. Karena surat keputusan menteri tersebut sudah membuat pembebasan tujuh klien yang meurpakan pelaku korupsi tertunda. Menariknya, gugatan sang juru selamat koruptor tersebut berhasil memenangkan gugatan di pengadilan tata usaha negara Jakarta.

Dikalahkan Yusril yang berhasil menyelematkan tujuh tikus berdasi, menteri hukum dan HAM kembali menggodok aturan baru yang mengetatkan remisi dan mempercepat pengembalian kerugian negara dari koruptor. Namun, ternyata koruptor-koruptor yang sudah bermalam di hotel prodeo tersebut kembali berharap pada sang juru selamat, Yusril. Yusril kembali melakukan uji materi PP 99 mewakili kliennya yang pasti ialah para koruptor. Alasan Yusril pun tertulis dalam kutipan MBM TEMPO edisi 22 Juli 2013, "Perlakuan terhadap Napi tidak boleh ada perbedaan."

Indonesia tercatat sebagai negeri yang sangat royal memberikan remisi. Dari Idul Fitri, Hari kemerdekaan, Natal dan berbagai hari-hari lainnya dalam setahun. Hingga mungkin saja para pelaku pidana, pastinya termasuk koruptor hanya menjalani hampir 2/3 dari hukumannya saja. Belum lagi dampak remisi ini terbawa ke pengembalian kerugian negara. Ketika kerugian negara belum dikembalikan sepenuhnya, si napi koruptor ini sudah bebas. Jadi, si koruptor tetap bisa menikmati kekayaan haramnya tersebut.

Komentar