Hangat, bagai teh manis yang baru diseduh dengan air dari termos. Konvensi Partai Demokrat menarik (atau minta ditarik) perhatian banyak media dari cetak, daring sampai televisi. Sampai, TVRI yang didaulat sebagai lembaga penyiaran publik diberikan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena menayangkan program khusus konvensi partai berwarna biru tersebut.
Konvensi yang diikuti sebelas orang dari internal dan eksternal partai berwarna biru tersebut selalu punya pilihan berita yang bisa diangkat. Dari masuknya Pramono Edhie dengan status eksternal partai yang pada 2011 ketika diwawancarai majalah TEMPO ia mengatakan tidak akan pernah mau menjadi presiden.
Kemudian, komite Konvensi yang mebawa beberapa nama akademisi, pengamat dan tokoh untuk mendulang nilai hasil konvensi menjadi lebih tinggi. Dari 17 anggota komite diantaranya yang kerap kita dengar seperti Soegeng Soerjadi, Taufiqurahman Ruki dan Efendi Ghozali seolah menjadi beberapa bagian untuk meningkatkan pandangan masyarakat terhadap hasil konvensi.
Keikutsertaan Endriartono Sutarto juga menjadi pembahasan yang hangat. Karena sebelumnya, Endriartono digadang-gadang akan menjad capres dari partai seumur jagung Nasdem. Namun, ketika ia memilih ikut konvensi maka mau tidak mau harus bercerai dengan Nasdem. Pasalnya, bila ia terpilih nantinya sebagai pemenang konvensi, secara langsung ia akan menjadi bagian partai demokrat.
Penolakan Jusuf Kalla dan Mahfud MD untuk mengikuti konvensi juga menjadi perbincangan yang cukup hangat. Padahal, Mahfud MD yang masih tidak punya partai penyokong dan JK yang juga tak mungkin lagi dicalonkan oleh Golkar punya kesempatan maju sebagai kader Demokrat. Tapi, guyon penulis kedua tokoh tersebut menolak ikut konvensi partai biru tersebut mungkin karena takut merasa hina.
Lalu, pembahasan yang masih sangat hangat tentang keikutsertaan pejabat negara dalam konvensi. Timbul pertanyaan, "apakah mereka yang masih menjabat sebagai pejabat negara harus mundur atau tidak?"
Anggota konvensi Demokrat yang menjadi pejabat negara antara lain ada Marzuki Ali (Ketua DPR), Irman Gusman (Ketua DPD), Dahlan Iskan (Menteri BUMN), Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan), Dino Patti Jalal (Dubes Indonesia di AS), Sinyo Sari Sarundajang (Gurbenur Sulawesi Utara), Hayono Isman (Anggota DPR), dan Ali Masyur Musa (Staff BPK). Dari sekian banyak, baru Dino Pati Djalal saja yang mundur dari jabatannya. Sementara yang lain masih ada yang mau tetap dan ada yang sudah mengajukan pengunduran diri.
Baru-baru ini, Menteri Gita Wirjawan konon sudah menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri perdagangan kepada Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga presiden Indonesia yaitu SBY. Keputusan Gita ini seperti pisau bermata dua, ketika tuntutan beberapa pengamat dan publik untuk peserta konvensi mengundurkan diri dari jabatannya maka ketika memilih mundur akan banyak mendapatkan suara tepuk tangan karena dianggap punya sikap dan tidak maruk. Namun, di sisi lain, posisi yang ditinggalkan Gita Wirjawan ini cukup riskan, karena kondisi perdagangan ekspor-impor Indonesia sedang banyak yang harus dibenahi untuk mengembalikan kondisi kekurangan berbagai bahan di dalam negeri. Sehingga, Gita akan terlihat seperti lepas tangan atas masalah yang sedang dihadapi.
Bila nantinya pengunduran diri Gita Wirjawan sebagai menteri sudah diterima oleh Dewan Pembina Demokrat, SBY, apakah pejabat publik lainnya macam Marzuki Ali, Irman, Sinyo dan Dahlan akan mengikuti keputusan serupa? mungkin Irman Gusman, Marzuki Ali, Sinyo dan Hayono takut pula untuk mundur dari jabatannya, apalagi isu yang terdengar mereka hanya sebagai boneka pajangan konvensi untuk memaniskan persaingan. Lalu, apakah Dahlan yang berprofesi mirip dengan Gita sebagai menteri kabinet juga akan ikut mundur?
Berbicara Dahlan Iskan, bila Demokrat berhasil menggaet Dahlan Iskan, si pemimpin media Jawa Pos yang tersebar ke berbagai pelosok negeri tersebut. Mungkin saja Demokrat bisa disebut mendapatkan durian runtuh. Karena media Dahlan Iskan mungkin saja bisa membantu menaikkan kembali elektabilitas partai Demokrat yang jatuh akibat kasus Hambalang. Karena surat kabar Jurnal Nasional tampaknya amat kurang tenar untuk membantu menaikkan kembali derajat partai punya presiden ke-enam Indonesia ini.
Setelah berbagai drama-drama konvensi tersebut, apakah akan muncul drama-drama konvensi lainnya yang dibuat untuk menjaga eksistensi konvensi partai biru tersebut? Nantikan saja episode-episode dagelan konvensi yang sempat tersiar konon pemenangnya sudah ditentukan sejak dini yaitu Pramono Edi tersebut. Tapi, kalau sudah bosan dengan isu drama konvensi tersebut, khalayak bisa dengan bebas menghindarinya. Tenang tidak akan dipenjara kalau menghindari pemberitaan konvensi partai cikeas di MEDIA MASSA kok.
Komentar
Posting Komentar