Nostalgia Century, Mengintip Tahun Pemilu



Dalam buku Centurygate yang merupakan kumpulan berbagai tulisan dari berita sampai opini yang terbit di Harian Kompas ada bagian yang menggambarkan bagaimana kericuhan sidang paripurna menghadapi skandal tersebut. Kericuhan dimulai ketika ketua Pansus (Panitia Khusus), Idrus Marham membacakan dua opsi kesimpulan serta rekomendasi dianalogikan seperti peluru yang dilepas dari mitraliur para anggota dewan melancarkan interupsi.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi liar, semuanya berebutan untuk berbicara mengutarakan pendapatnya yang sesuai dengan latar partai politik masing-masing. Ada yang berdiri mengacungkan tangan dengan mimik emosi karena pengeras suara bagiannya dimatikan. Marzuki Alie, Ketua DPR RI yang tampak panik langsung mengetuk palu untuk menutup rapat tanpa berembuk dengan empat wakilnya.

Ditutupnya rapat malah membuat situasi semakin ricuh, ada seorang anggota dewan yang mengamuk dengan membanting papan nama di depan meja pimpinan. Sementara, anggota dewan yang lain memburu meja pimpinan dan mengerumuninya. Semuanya saling dorong, ada yang berusaha terus merangsek ke para pimpinan ada yang melerai walau itu percuma karena jumlahnya tidak sebanding dengan yang emosi.

Caci maki bergema membahana di ruang rapat legislatif yang dipilih oleh masyarakat Indonesia tersebut. Marzuki Alie segera diamankan ke luar gedung rapat. Sementara, tiga wakilnya Priyo, Pramono dan Anis berusaha mendinginkan rekan-rekan mereka yang menjadi liar. Akhirnya hasil rapat menentukan opsi mengenai kasus misteri Bail Out Bank Century menggantung tanpa hasil.

Gantung dihari pertama, hujan interupsi amat deras terjadi di hari kedua pada 3 Maret 2010. Situasi tetap memanas apalagi dalam pemungutan suara untuk opsi dalam memandang tindakan penalangan dana Century itu sesuai atau ada penyimpangan. Opsi dipegang oleh dua fraksi yaitu parpol yang mendominasi senayan, Demokrat dan Kebangkitan Bangsa. Sementara, opsi C dipegang oleh lima parpol yaitu, PDIP, PKS, Gerindra, Hanura dan Golkar. Dua parpol lagi abstain yaitu PPP dan PAN.

Kubu opsi C mendesak segera voting dengan keyakinan mereka akan memenangi pemungutan suara. Perdebatan yang alot menanti voting dilaksanakan benar-benar membunuh waktu hingga sekitar lima jam. Karena ada fraksi parpol yang memunculkan opsi yang baru yaitu gabungan A dan C. Kemudian, dilakukan pemungutan suara untuk pilihan tetap dua opsi atau menjadi tiga opsi. Pemenangnya ialah tetap dua opsi.

Menarik yang diperhatikan ialah kejadian setelahnya yaitu pemungutan suara untuk opsi A atau C. Diprediksi pada awalnya perolehan suara kedua opsi itu akan berlangsung ketat. Namun, Demokrat seperti ditinggal para koalisinya, Opsi C menang telak. Tepuk tangan membahana dari para badut senayan tersebut, Marzuki Alie yang merupakan kader Demokrat pun menegur mereka yang membuat ricuh dengan pelukan dan tepuk tangannya.

Kisah yang terjadi dalam pemungutan suara anggota legislatif mengenai skandal Century tersebut membuat banyak pegamat memandang demokrat dikhianati. Dalam artikel yang ditulis oleh Syamsudin Haris, Professor Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan menuliskan bahwa SBY berharap koalisi politik yang dibentuknya ini bisa mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk skandal dana talangan Century. Demi ambisi tersebut, Demokrat pun merayu pesaingnya Golkar untuk turut bergabung dalam koalisi.

Harapan dari SBY yang penulis kerap sebut sebagai Om Bey ini wajar, tetapi tidak bertolak dari watak koalisi dalam skema "Presidensial" berbasis multipartai yang hampir selalu cair, longgar dan tidak pernah disiplin. Pengalaman om Bey pada periode pertama sebagai presiden sebenarnya sudah menunjukan bahwa koalisi tidak mejadi jaminan mendapat dukungan dalam setiap kebijakan dari legislatif.

Tapi, para golongan legislatif yang membuat keputusan berlawanan dengan kebijakan partai pemenang bukan berarti sebuah langkah yang diambilnya benar. Langkah-langkah yang diambil oleh sistem DPR yang menggunakan Fraksi dari partai politik akan selalu kembali ke tujuan partai. Dalam tujuan partai politik tersebut banyak kepentingan-kepentingan partai dan individu-individu yang ingin dicapai. Sehingga kembali lagi, perwakilan rakyat yang diisi para badut pintar berdrama tersebut tidak menjamin membantu kebijakan-kebijakan yang dibuat negara ini untuk kemajuan yang konkrit.

Tapi, relakkah partai poltik bila sistem fraksi dalam legislatif dihapus. Ketika, para anggota dewan duduk sebagai individu yang lebih independen tanpa ada beban moral atau hutang balas budi ke partai dengan membantu proyek partai mungkin akan menghasilkan undang-undang dan mengarahkan kebijakan pemerintah ke arah yang lebih baik. Walaupun bentukannya masih abstrak dan belum teruji, tapi apakah sistem fraksi partai politik dalam legislatif yang karut marut seperti benang kusut yang dikusutkan lagi ini layak diteruskan?

Lelucon pengaruh besar partai terhadap pemerintahan pun terlihat dari kinerja Om Bey yang terkadang lucu. Dalam kasus Century ini misalnya, Om Bey sempat mucul sebagai sosok dewan pembina partai untuk membahas arah politik Demokrat dalam melancarkan skandal Century tersebut kepada para kadernya di senayan. Itu adalah hal lucu ketika Eksekutif dalam hal ini presiden memberikan pengaruh kepada para anggota legislatif untuk mengarahkan kebijakan ke arah yang sesuai dengan kepentingannya. Dualisme terjadi ketika eksekutif secara tersirat melakukan campur tangan terhadap legislatif.

Tapi apa daya, partai politik negeri ini tak rela ada sistem para kadernya yang masuk eksekutif maupun legislatif meninggalkan partainya. Budaya balas budi masih meleleh dalam hati setiap insan di negeri ini. Partai politik sendiri pemasukannya juga dari proyek-proyek yang lolos di pemerintahan. Sehingga partai politik tersebut memburu kemenangan di pemilu dengan tujuan bukan untuk Indonesia yang lebih baik tapi sekedar mengeruk untung lebih demi mempertahankan eksistensi.

Mau revolusi besar-besaran? mengubah sistem kunyuk yang terus berjalan, memilih calon anggota legislatif yang aneh dan ndak logis sampai presiden yang masih menjabat ketua Partai Politik, mungkin bisa dilakukan. Tapi, jangan Revolusi ecek-ecek yang setelah revolusi dan tujuan awal tercapai lalu bingung melakukan apa. Kasihan nanti banyak anak-anak generasi muda bangsa yang menjadi korban dari para kaum revolusi.

Bila revolusi (bukan Reformasi) ingin dilakukan, maka harus direncanakan matang-matang dan melakukan konspirasi untuk menentukan pemimpin kompeten demi menguatkan fondasi yang goyah setelah masa revolusi yang direncanakan. Tak hanya sampai disitu, harus dikonspirasikan perencanaan regenerasi pemimpin untuk menguatkan fondasi yang goyah. Karena, ketika selesai Revolusi, menguatkan kembali fondasi negara itu sulit sekali. Serangan dari para manusia haus kekuasaan akan kuat. Di sinilah para manusia baru harus bisa bertahan dari terpaan tersebut.

Tapi, apa daya, tampaknya pemilu tahun ini tak ada beda dengan lima tahun lalu, para manusia penuh kepentingan akan memadati Legislatif dan memburu satu kursi tertinggi sebagai orang nomor satu negeri ini. Mungkin mereka semua yang sedang memburu kursi tersebut tak lebih baik atau sama saja dengan seorang pengacara yang terkenal dan suka diguyonkan karena tingkah konyolnya di media sosial maupun konvensional. Bedanya calon presiden yang lain pandai menjaga citra sok benar.

Catatan satu lagi, Mahasiswa ialah golongan yang dinilai paling independen, tapi faktanya mahasiswa ialah golongan paling rentan dimanfaatkan bahkan dari mahasiswa-mahasiswa sendiri ada oknum-oknum yang mempunyai agenda karena latar belakang partainya masing-masing. Kembali saja lihat bagaimana Orde Baru membangun fondasinya bersama mahasiswa-mahasiswa tersebut.

Semoga negeri ini lebih baik

Komentar