Pertanian dan Perikanan Nusantara Seribu Tahun Silam



Relief pada batu koleksi Museum Nasional, Jakarta Pusat itu menggambarkan daerah pertanian dari tepi sungai, lembah hingga bukit. Pada batu lainnya tergambar sosok dua petani sedang bercocok tanam. 
Bentuk ukiran pada batu itu dibuat pada abad ke-14 atau 15 Masehi, tepatnya masa Majapahit. Batu-batu yang menjadi koleksi Museum Gajah, nama lain dari museum nasional itu sisa dari hiasan-hiasan candi. Hiasan candi ditafsirkan sebagai alat dokumentasi yang menggambarkan keadaan saat itu.

Masyarakat Indonesia diperkirakan sudah mulai mengenal tradisi pertanian sejak 4500 tahun yang lalu. Perkiraan tersebut berasal dari bukti-bukti artefak berupa pecahan gerabah dan sekam. Pada masa prasejarah, aktivitas pertanian hanya didukung dengan peralatan yang sederhana seperti beliung dan belincung yang terbuat dari batu.

Perkembangan teknologi pertanian terjadi ketika Hindu-Buddha datang ke Indonesia. Perlahan batu-batu yang digunakan mulai ditinggalkan dan beralih ke cangkul, arit dan tajak yang terbuat dari besi. Pengenalan pengolahan besi sudah dimulai masyarakat Indonesia pada akhir masa prasejarah atau pada masa perundagian.

“Nah, ini dinamakan prasasti ya anak-anak,” ujar pria tua sambil menunjuk batu prasasti yang berada dalam wadah kaca kepada siswa taman kanak-kanak di Museum Nasional.

Sejak abad ke-11 sudah banyak prasasti-prasasti yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia, terutama Jawa bagian timur semakin berfokus dalam bertani. Prasasti-prasasti tersebut seperti Kamalagyan (Abad ke-11) sampai  Tralioyapuri (abad ke-15). Dalam prasasti itu tertulis  tentang jenis-jenis lahan pertanian, pejabat pengurus pertanian, pajak pertanian sampai usaha yang dilakukan seorang raja untuk memajukan pertanian.

Pajak pertanian yang diterapkan kerajaan-kerajaan pada masa silam begitu beragam. Bila di Banjarmasin menggunakan timbangan untuk menentukan pajak. Raja Banjar pada masa itu menerapkan pajak hasil pertanian sesuai dengan berat tubuh sang Sultan.

Jadi, ada timbangan besar yang menjadi tempat Sultan duduk sementara hasil bumi yang dijadikan alat membayar pajak diletakkan pada bagian timbangan sebelahnya. Jumlah pajak nantinya disesuaikan dengan berat Sultan Banjar itu. Sementara, dominan di Pulau Jawa,  pajak biasanya ditentukan dari bagi hasil keuntungan panen atau sesuai kemauan sang raja. Bumbu-bumbu feodal masih begitu terasa pekat pada masa Jawa kuno.

Bumbu feodal kerajaan Hindu-Buddha di Jawa digambarkan pada sebuah relief batu yang juga koleksi dari Museum Nasional. Dalam relief yang dibuat pada masa Majapahit tersebut digambarkan sosok bangsawan yang lebih besar sedang bersama abdi dalemnya yang dibuat lebih kecil. Posisi sang bangsawan juga dibuat lebih kokoh dan angkuh sementara abdi dalemnya meringkuk, kecil dan mudah goyah.

Meski begitu, catur warna Hindu-Buddha di Indonesia tidak seketat di India. Di India, jarak antara Brahmana, Ksaktria, Waisya dan Sudra begitu dipisahkan dengan ketat. Hal tersebut diperoleh dari tafsiran fenomena kejadian Ken Arok yang warga biasa bisa meraih kekuasaan berkat keberaniannya. 

 Penggambaran relief seolah bumbu feodal begitu kuat saat masa Hindu-Buddha sebenarnya lebih terlihat dari cara para penguasa mempertahankan kekuasaannya. Kewenangan penuh karena menggunakan sistem kerajaan membuat rakyat yang manggut-manggut pada kerajaan sulit untuk menaikkan status sosial mereka.

“Kerajaan itu tidak punya lahan, mereka membutuhkan hasil lahan untuk hidup mereka dan warga desa bisa memenuhi kebutuhan mereka yang didapatkan dari hasil pajak atau upeti,” tutur perempuan muda berkerudung lulusan antropologi yang menjadi penuntun di Museum Nasional dengan tangannya ikut mengarahkan cerita.

Sementara, hasil pertanian yang dihasilkan lahan warga ini selain untuk upeti dan dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri, beberapa hasilnya juga mereka jual di pasar pada masanya. Dalam prasasti pada abad ke-9 sampai 15 menuliskan istilah untuk pedagang yang dibagi menjadi tiga antara lain, abakul (eceran), adagang (grosir) dan banyaga (pedagang lintas pulau).

Pasar pada masa kerajaan Hindu-Buddha ini bersifat pasar dadakan sesuai hari pasaran. Masyarakat pada masa itu membagi hari pasaran menjadi lima yaitu, Pahing, Pon, Wage, Kaliwon dan Umanis (Legi). Selain membagi waktu, pasar-pasar dadakan tersebut munculnya pun di tempat-tempat yang sudah ditentukan dan semuanya berbeda-beda.

Menariknya, pembagian waktu dan tempat pasar menjadi lima bagian ini sesuai dengan nama pasar yang ada di Ibukota Indonesia, Jakarta. Nama pasar yang menggunakan nama hari di Jakarta hanya ada lima yaitu, Pasar Senin, Rabu, Kamis, Jumat, dan Minggu. Diperkirakan, lima nama pasar yang ada di ibukota tersebut ditentukan sesuai dengan hari  di mana pasar ada pada saat kerajaan Hindu-Buddha itu.

Aktivitas perdagangan pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia ini membuat masuknya para pedagang dari Gujarat, Arab dan Persia ke pesisir Jawa. Pedagang-pedagang dari negeri lain tersebut kerap mengunjungi daerah selat yang pada saat itu menjadi pusat perdagangan antar wilayah dan kepulauan.

Perlahan, kerajaan Islam pun mulai muncul di Indonesia yang membuat pola sosial masyarakat Indonesia juga berubah. Bila pada masa kerajaan Hindu-Buddha dibedakan menjadi Brahmana, Ksaktria, Waisya dan Sudra. Susunan status masyarakat pada masa kerajaan islam dibagi menjadi  penguasa, ulama, pejabat tinggi kerajaan, pedagang dan masyarakat biasa.

Semenjak kerajaan Islam mulai bermunculan di Indonesia, orientasi sosial masyarakat pun semakin fokus ke pertanian dan perdagangan. Perdagangan yang dijalankan pun lebih ke pertukaran rempah-rempah yang ada di satu pulau dengan pulau lain dalam pasar lintas pulau.

Namun, perdagangan pada masa kerajaan islam itu membawa permasalahan baru yaitu beredar berbagai mata uang asing yang digunakan para pedagang-pedagang dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur. Mata uang tersebut digunakan sebagai alat bertransaksi. Hal ini membuat kerajaan Islam setempat membuat mata uang yang menyerupai mata uang para pedagang asing tersebut.

Nelayan dari Timur
Selain tanahnya yang subur hingga mempunyai hasil pertanian yang melimpah. Indonesia juga merupakan wilayah kepulauan yang kaya dengan hasil lautnya. Pada seribu tahun yang lalu, potensi laut Indonesia timur, yang dikelilingi oleh laut dalam sudah diketahu oleh masyarakat saat itu.

Masyarakat Indonesia pada abad ke-4 sampai 15 melakukan aktivitas menangkap biota laut bisa berkelompok maupun sendiri. Nelayan-nelayan pada masa itu bermain insting tentang kondisi iklim, mata angin, angin musim dan ilmu perbintangan. Sementara, peralatan yang digunakan pun masih cukup sederhana hanya Jala, Bubu dan Tombak.

Para nelayan di Indonesia tersebar di pesisir Sumatra, perairan air tawar Kalimantan, pesisir Bali dan Indonesia Timur yang dikelilingi laut dalam. Jadi, pesebaran aktivitas mengelola hasil bumi masyarakat Indonesia pada abad ke-4 sampai 15 bisa dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu, pesisir dan muara sungai. Pesisir untuk para nelayan dan muara sungai untuk para petani.

Kekayaan alam dari sektor pertanian dan perikanan ini bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia sekarang dalam menyejahterakan masyarakatnya. Karena, sampai 2013 ini menurut data dari BPS.go.id dan pemberitaan yang berkembang tentang pencurian ikan Indonesia oleh pihak asing memperlihatkan bahwa dua sektor ini dipandang sebelah mata.

Dalam data BPS (Badan Pusat Statistik) pada 2010 tertulis produksi beras mencapai 66 juta ton. Sementara, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa. Jumlah produksi beras pada 2010 tersebut belum bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat saat itu sehingga menurut agroindonesia.co.id pemerintah harus mengimpor beras sebanyak 1,8 juta ton. Kemudian, dari hasil perikanan, pada 2012 tercatat Indonesia mengalami kerugian mencapai Rp30 Trilliun setiap tahunnya akibat pencurian ikan di perairan oleh kapal asing.

Komentar